Kamis, 11 Desember 2008

Liberalisme dan Oligarkhi di Indonesia: Dari Masa Lalu hingga Kini

Liberalisme dan Oligarkhi di Indonesia: Dari Masa Lalu hingga Kini

Banyak pendekatan yang mencoba menganalisis perubahan politik dan ekonomi Indonesia. Beberapa teori tentang model negara yang ada, tak satupun bisa menjelaskan secara menyeluruh kompleksitas permasalahan yang muncul, terutama dalam konfigurasi politik periode Orde Baru. Pertumbuhan ekonomi yang cepat merupakan fokus kajian pendekatan neo-liberal. Namun, pendekatan neo-liberal juga gagal menjelaskan mengapa pengaruh pasar global, peran kelas menengah, dan ekonomi yang bersifat suksesif tidak dapat menumbuhkan liberalisme di Indonesia. Artikel Robinson dan Hadiz ini mencoba untuk menjelaskan permasalahan-permasalahan tersebut. Agenda dan thesis pendekatan neo-liberal ternyata banyak menimbulkan permasalahan ketika diterapkan di Indonesia. Robinson dan Hadiz mencatat beberapa permasalahan yang menyangkut masalahan teknis dan politis.

Neo-liberalisme tidak sesederhana seperti proposisi teori yang banyak dikembangkan para ahli. Namun lebih merupakan ekspresi ideologi yang luas dan berkonsentrasi pada permasalahan hubungan antara sistem ekonomi dan politik. Fokus kajiannya terletak pada ide tentang hak kepemilikan pribadi, keterbukaan terhadap pasar dan kepentingan perusahaan swasta serta mengurangi otoritas negara terhadap kehidupan ekonomi. Misi dari neo-liberalisme terfokus pada bagaimana mewujudkan liberalisasi politik dan efisiensi pasar yang bisa diwujudkan melalui pembatasan peran negara. Pendekatan ini memandang bahwa negara merupakan salah satu masalah. Negara yang mengintervensi pasar dipandang sebagai predator—dimana kebijakan, dan barang-barang publik dijual oleh birokrat dan pegawai pemerintah untuk mendukung proses politik. Kekuasaan negara yang dibatasi untuk meregulasi modal, melakukan pengaturan pajak dan mengurangi defisit anggaran merupakan struktur yang akan mengurangi peluang bagi para birokrat untuk melakukan rent-seeking. Pembatasan kekuasaan negara tersebut juga diikuti pengakuan terhadap hak pemilikan pribadi sehingga bisa mendorong kapitalisme pasar. Melalui Whasington consensus, maka lahirlah institusi seperti IMF dan Bank Dunia yang memiliki misi yang sama dimana pasar merupakan satu-satunya arena untuk melakukan restrukturisasi terhadap struktur negara yang bersifar predatory dan autoritarian.

Problem politis serius yang dihadapi Orde Baru Soeharto adalah lemahnya institusi (‘soft state’). Baik dalam hal kebijakan makro tetapi lemah di level mikro. Tidak ada indikator yang jelas tentang seperti apakah sebuah instistusi yang bisa dikatakan baik. Namun hal ini terkait dengan agenda kebijakan Bank Dunia yang menyangkut pembangunan instistusi, reformasi sektor publik dan good governance yang mendorong kebijakan nasional yang market-friendly. Bank Dunia juga menekankan pentingnya kerangka regulasi dari institusi pemerintah yang mengatur situasi dimana terdapat ruang yang terbuka untuk investasi pasar. Tanpa regulasi dan institusi yang kuat, negara bisa kembali menjadi predator. Hal ini berkebalikan dengan konteks Indonesia. Lemahnya institusi yang dikarenakan kepentingan bisnis dan kelas menengah selalu diikuti oleh kepentingan masing-masing aktor untuk mencari keuntungan melalui intervensi kebijakan. Keadaan ini diperparah dengan hubungan patronase yang selalu mewarnai proses pembuatan kebijakan. Asosiasi industri menjadi tidak efektif sehingga struktur politik didominasi oleh kekuatan ekstra ekonomi yang melakukan koersi terhadap kehidupan ekonomi. Setidaknya, diperlukan institusi yang menciptakan peraturan formal—menyediakan peraturan yang jelas dan konsisten untuk meregulasi pasar karena merupakan salah satu elemen penting pendorong kapitalisme.

Problem politis lain yang dicatat dalam artikel ini adalah problem kapasitas negara. Problem ini terkait erat dengan problem lemahnya institusi. Problem ini menyangkut ambiguitas peran negara untuk mendorong kapitalisme pasar. Di sisi lain negara seharusnya menyerahkan mekanisme perekonomian kepada pasar dengan intervensi yang seminimal mungkin, namun di sisi lain, negara juga harus menyediakan pengaturan yang jelas untuk menjamin efektifitas bekerjanya pasar. Permasalahannya adalah proses pembangunan kapasitas negara hanya terbatas sampai pada pengalokasian rente yang dipungutnya. Negara tidak melakukan proses pembangunan kapasitas administrasi dengan mekanisme yang jelas sehingga bisa meregulasi dan memonitoring pasar. Problem politis semacam ini bisa diatasi dengan melindungi kapasitas negara dari meritokrasi birokrasi dan melakukan contracting out untuk beberapa aktivitas negara. Permasalahan utamanya terletak pada birokrasi Indonesia—secara total selalu berada dalam sistem managemen yang tidak seimbang, prosedural dan selalu berada dalam kerangka kerja peraturan formal yang ambigu.

Selain problem politis, Robinson juga mencatat beberapa problem teknis. Salah satunya adalah permasalahan modal sosial. Modal sosial sangat dibutuhkan untuk mewujudkan kapitalisme pasar. Prinsip-prinsip liberalisme tidak bisa begitu saja di diwacakan tanpa adanya proses pengakaran terlebih dahulu dalam masyarakat. Hal ini senada dengan proposisi Robert Putnam yang menyatakan bahwa pembangunan membutuhkan modal sosial, kapasitas warga negara untuk mendukung aksi kolektif, governance, pembangunan institusi yang diukur dengan kehidupan asosiasional yang kuat dan bagaimana warga negara bisa mewujudkan nilai-nilai keberadaban. Sebaliknya, kehidupan asosiasional di Indonesia selalu di capture oleh negara dan masyarakat sendiri tidak memiliki modal sosial yang kuat termasuk juga civic engagement.

Permasalahan teknis lain berasal dari pendekatan neo-liberal itu sendiri. Problem dasar dari pendekatan ini adalah bagaimana membangun institusi yang efektif. Bagaimana membangun struktur sosial, penguatan elit politik dan melakukan strukturisai akses bagi kelompok sosial. Negara dan proses pembuatan kebijakan selalu mengabaikan lingkungan dimana kebijakan tersebut dibuat. Kontestasi yang kemudian terjadi adalah mengenai bentuk pemerintahan. Agenda yang sama dari neo-liberal bisa mengakibatkan model-model yang berbeda mulai dari berkembangkanya kapitalisme itu sendiri, demokrasi atau justru predatori.

Perbedaan-perbedaan tersebut bisa dijelaskan bahwa kegagalan konsep liberalisme di Indonesia disebabkan oleh institusi pasar yang mengabaikan perubahan keadaan ekonomi di suatu negara. Perubahan ekonomi di Inggris dan Amerika pada abad ke-18 dan ke-19 tidak bisa dengan mudah ditranslasi ke negara-negara berkembang. Demikian juga dengan keadaan Indonesia. Konsep harmoni dalam Orde Baru Soeharto merupakan keadaan alami yang tidak bisa diubah secara cepat melalui tekanan liberal untuk melakukan reformasi struktur.

Reformasi struktur dalam arena perpolitikan dan perekonomian Orde baru banyak diwarnai dengan konflik sosial dan perubahan institusi. Institusi seharusnya dimaknai sebagai mekanisme alokasi dan konsolidasi kekuasaan sehingga bisa menjelaskan kegagalan model kapitalisme pasar di Indonesia dengan sudut pandang yang berbeda. Tidak munculnya ‘rational state’ di Indonesia juga di sebabkan oleh tidak adanya teknokrat yang mau menegosiasikan kekusaannya dengan kelompok kepentingan lain, baik itu dengan atau tanpa negara. Sistem instrumental yang terjadi kemudian adalah kekuasaan negara untuk melakukan fusi terhadap kewenangan publik, dan kelompok kepentingan di luar teknokrasi negara. Hal ini menimbulkan adanya kekuasaan yang oligarkhis yang terdiri dari kepentingan bisnis dan politik yang muncul dari dalam negara itu sendiri.

Pasca keruntuhan Soehato, keberadaan lembaga-lembaga seperti IMF dan Bank Dunia yang berusaha melakukan institusional reform hanya sedikit menyumbang perubahan mekanisme politik pada saat itu. Usaha-usaha untuk memberantas korupsi, korporasi yang berbasis klien, dan mereformasi birokrasi pada akhirnya tidak bisa berjalan optimal. Pertumbuhan pasar tidak di dukung oleh kohesivitas politik, dan didominasi oleh seting hegemonik yang membatasi liberalisme dan hak-hak individu. Liberalisme pasar juga tidak bisa berkembang karena tidak di dukung oleh adanya partai yang liberal sebagai salah satu kekuatan untuk berkontestasi dengan kekuatan negara. Belum muncul adanya patai politik yang bisa bersaing dengan mesin partai yang mendominasi prosedur demokrasi pasca Soeharto.

Perkembangan kapitalisme liberal di Indonesia terhambat karena adanya masyarakat sipil dan kelompok borjuasi yang justru tidak liberal. Asosiasional masyarakat sipil yang ada didomisnasi oleh kelompok menengah. Bahkan kemunculan masyarakat sipil yang kuat setelah keruntuhan rezim Soeharto juga tidak bisa mendukung kapitalisme pasar karena cenderung terfragmentasi, tidak efektif dan tidak bisa berperan untuk menekan negara dalam hal menjamin hak-hak sipil. Permasalahan sebenarnya tidak terletak antara masyarakat sipil dan negara tetapi adanya konflik antara koalisi yang berbeda dalam negara dan kekuatan sosial. Fenomena menarik lainnya dalam konfigurasi ekonomi-politik Orde Baru adalah munculnya kaum borjuis yang tidak liberal. Kaum borjuis yang muncul juga berasal dari negara. Kelas menengah yang banyak terdiri dari etnis China pun tidak punya pilihan lain selain mencari perlindungan dari peraturan otoritarian negara.

Kejatuhan rezim Soeharto bisa diartikan sebagai berakhirnya dominasi kepentingan elit politik dan borjuasi dalam proses pembuatan kebijakan dalam negara. Namun, oligharkisme teknokrasi yang menguasai kepentingan ekonomi sekaligus kepentingan politik rezim tetap tidak bisa begitu saja hilang karena telah mengakar kuat dalam sistem politik Indonesia.

Dalam implementasi pendekatan neo-liberalisme, konteks ekonomi politik suatu negara menjadi penting. Kekuasaan oligharkis pemerintah nasional tidak bisa diremehkan dalam pengaturan ekonomi. Struktur ekonomi dan kapitalisme global bagaimanapun juga tetap bergantung pada kekuatan mengatur dari pemerintah nasional untuk menjamin liberalisme ekonomi terus berlanjut. [1] Dalam hal ini, tidak terdapat pemisahan yang tegas antara ekonomi dan politik. Secara historis tantangan liberalisme dalam pengalaman Orde Baru lebih banyak disebabkan oleh oligarkhisme dalam negara dan beberapa permasalahan internal yang meliputi masalah struktur dan teknis seperti yang diungkapkan dalam tulisan Robinson.

Namun ketika sejarah mulai bergeser, kapitalisme liberal juga semakin menunjukkan kegagalannya. Berbagai permasalahan muncul karena peran aktor-aktor transnasional baru. Ironi liberalisme telah banyak dikupas dalam berbagai artikel yang kesemuanya kurang lebih mengatakan hal yang sama bahwa liberalisme sekarang justru menjadi penyebab melebarnya kemiskinan, dan meluasnya ketimpangan distribusi pendapatan dalam arti luas. Oligarkhisme yang dulu terletak dalam struktur negara saat ini mulai diambil oleh kelompok perusahaan-perusahaan besar. Melalui kebijakan ekonomi, secara tidak langsung bisa mengancam demokrasi suatu bangsa ketika beberapa kebijakan ekonominya dikendalikan oleh aktor-aktor transnasional tersebut. Di sini jelas bahwa kebijakan ekonomi yang dibuat mulai memasuki ranah politik suatu negara. Sudah merupakan aksioma baru bahwa kekuatan politik bersekutu dengan kekuatan ekonomi. Mekin besar unit ekonomi, makin besar pemain-pemainnya yang dominan, dan makin terkonsentrasi kekutan politik di tangan korporasi-korporasi terbesar. Makin besar kekutan politik korporasi dan pihak-pihak yang bersekutu dengan mereka maka makin lemah kekuatan ekonomi rakyat, dan makin lunturlah makna demokrasi.[2]

Dari dulu sampai sekarang nampaknya tetap terdapat oligarkhisme yang menguasai suatu struktur ekonomi politik suatu negara. Hanya saja terdapat beberapa perubahan. Pilihan kebijakan semula dibangun oleh rezim nasional namun sekarang sangat dipengaruhi bahkan ditentukan oleh struktur ekonomi global. Terjadi perubahan dari rezim nasional ke rezim global.

Kembali ke Orde Baru. Tulisan Robinson dan Hadiz ini menunjukkan bukti empirik sistem politik Indonesia menjelaskan adanya ambiguitas dan implikasi globalisasi dalam pendekatan neo-liberal. Hal inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan besar apakah pertumbuhan ekonomi membutuhkan mekanisme demokrasi (untuk mencegah adanya rent-seeking melalui kontrol negara) atau sebaliknya, apakah demokrasi bisa menghasilkan kebijakan ekonomi yang efektif? Variasi yang ditunjukkan Indonesia merupakan ironi dari pendekatan neo-liberal bahwa tidak selamanya pertumbuhan ekonomi bisa memunculkan kapitalisme liberal.

Critical Review

Richard Robinson dan Vedi R Hadiz, Reorganizing Power in Indonesia, The Politics of Oligharchy in an Age of Market: Routlefge Curzon, 2004.

Referensi:

Mugasejati, Nanang Pamuji dan Ucu Martanto (editor). 2006. Kritik Globalisasi dan Neoliberalisme. Yogyakarta: Fisipol UGM.

Siregar, Effendi Amir. 2000. Demokratisasi dan Ekonomi Pasar. Jakarta: Warta Global Indonesia.



[1] Tesis kelompok yang skeptis terhadap globalisasi. Rianto,Puji. Globalisasi, Liberalisasi dan Krisis Demokrasi. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik JSP. Volume 8, Nomer 2, November 2004 dalam Kritik Globalisai dan Neoliberalisme. Hal. 67

[2] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar