Multidimensional Kebijakan Relokasi Pedagang Klithikan
Kebijakan publik menjadi salah satu instrumen pemerintah untuk menyelesaikan berbagai dinamika sosial dan politik yang ada dalam masyarakat. Kebijakan merupakan suatu hal yang sangat kompleks karena menyangkut banyaknnya kepentingan dan menjadi sebuah upaya untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang berbeda. Selain kompleksitas subyek kebijakan yang sangat beragam, kompleksitas kebijakan juga menyangkut kepentingan pemangku kebijakan itu sendiri yang mempunyai rasionalisasi dan logika tersendiri.
Secara umum, kebijakan publik terdiri dari berbagai lapis pemaknaan. Beberapa pemaknaan yang diberikan para ilmuwan terhadap kebijakan publik tak jarang justru mereduksi makna kebijakan itu sendiri. Ketika kebijakan publik hanya dimaknai sebagai proses decision making, maka kebijakan publik merupakan keputusan yang bersifat otoritatif, termasuk keputusan untuk membiarkan sesuatu itu terjadi, demi teratasinya suatu persoalan publik. Kebijakan juga sering dimaknai sebagai proses atau fase kerja dari para kebijakan publik sehingga kebijakan yang dihasilkan bersifat sangat teknokratis dan administratif. Kebijakan semacam ini bukan hanya sulit menjangkau kepentingan masyarakat yang sebenarnya tetapi bisa menjadi alat bagi para pemangku kebijakan untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri. Lapis pemaknaan ketiga adalah kebijakan yang dimaknai sebagai bentuk intervensi sosio kultural dengan mendayagunakan berbagai instrumen untuk mengatasi persoalan publik. Sedangkan pemaknaan kebijakan yang paling kompleks adalah pemaknaan kebijakan sebagai interaksi negara dengan rakyatnya dalam rangka mengatasi persoalan publik.[1]
Pemaknaan kebijakan publik sebagai bentuk interaksi antara negara dan masyarakat akan memwa konsekuensi bahwa implementasi dan proses pembuatan kebijakan tersebut akan semakin kompleks. Semakin dalam pemaknaan kebijakan publik, maka akan semakin banyak melibatkan aktor. Pelibatan aktor di luar pemerintah dalam pembuatan kebijakan sangat rentan terhadap konflik, sehingga kebijakan publik bisa dimaknai pula sebagai proses pengelolaan konflik.
Tulisan ini akan membahas bagaimana kebijakan publik tersebut berperan sebagai bentuk multidimensionalitas yang diperlihatkan melalui studi kasus. Contoh kasus yang akan digunakan dalam tulisan ini adalah kebijakan pemerintah
Implementasi kebijakan dalam konteks lokal di sini, menyangkut perencanaan pemerintah dan penggunaaan lahan. Dalam hal ini pedagang kaki
Secara administratif, Pemkot telah merumuskan kebijakan relokasi dengan menyedikan berbagai bentuk insentif seperti tersedianya lahan baru dan kemudahan dalam hal sewa dan penempatan pedagang. Meskipun demikian, kompleksitas muncul ketika terdapat para pedagang yang tidak mau direlokasi dengan berbagai alasan. Sehingga, kasus ini bisa digunakan sebagai gambaran adanya multidimensionalitas kebijakan publik yang sangat kompleks. Kebijakan dalam kasus ini bukan hanya merupakan tahapan untuk mencapai tujuan, tetapi juga merupakan tahapan untuk mencapai konsensus.
Uraian Kasus
Kasus ini berawal dari inisiatif pemerintah Kota Jogja terkait dengan Peraturan Walikota Yogyakarta no. 45 tahun 2007. Peraturan tersebut berisi kebijakan Pemkot untuk memindahkan para pedagang Klithikan di Jalan Mangkubumi, Jalan Asem
Gede, dan Alun-alun Kidul ke Pasar Klithikan Kuncen. Pemerintah telah menyediakan lokasi baru bagi para pedagang yaitu Pasar Pakuncen dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan. Niat baik pemerintah ini ditujukan untuk merelokasi pedagang kaki
Pro dan kontra dalam kasus ini muncul ketika sebagian pedagang menolak adanya relokasi dengan alasan akan mengurangi penghasilan. Ketua Pethikbumi Roldi Firdaus di dampingi sekretarisnya Joko Kristianto yang menolak relokasi melakukan aksi meminta tandatangan pengunjung Klitikan di atas spanduk di jalan Mangkubumi, sabtu 27/10. Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk dukungan masyarakat untuk menolak relokasi dan menuntut pencabutan Peraturan Walikota No.45 Tahun 2007.
Disaat yang sama pihak aparat dan satuan polisi pamong praja (Satpol PP) bersama aparat keamanan menyebarkan selebaran pemberitahuan relokasi. Selebaran tersebut ditandatangani Kepala Disperindagkop Kota Ir Amman Yuriadijaya MM selaku sekretaris Tim Sosialisasi dan Relokasi Pedagang Klithikan yang berisi Pedagang Klithikan alun-alun Kidul, Jln Mangkubumi dan Jln Asem Gede/Poncowinatan ke Pasar Klithikan Pakuncen akan dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 10 Nopember 2007. Kasus ini juga diwarnai dengan isu adanya intimidasi. Penasehat hukum PKL Pethikbumi Halimah Ginting SH mengungkapkan intimidasi terjadi saat beberapa orang yang mengatasnamakan Pemkot mengaku sebagai Tim 12 melakukan pendataan PKL dengan dikhawal 20 orang yang diindikasikan preman dengan membawa senjata tajam.
Sedangkan Forum LSM yang selama ini menjadi tim advokasi Pethikbumi menolak relokasi karena pihak Pemkot dalam melakukan komunikasi dengan Pethikbumi tidak maksimal dan tidak mengedepankan azas keadilan dan partisipasi. Bahkan Pemkot tidak punya itikad baik untuk mendengarkan gagasan penataan yang ditawarkan Pethikbumi di jalan Mangkubumi. Alangkah arif dan bijaksananya jika pihak Pemkot mau membatalkan konsep relokasi yang dirasa sepihak. Sebab konsep relokasi akan sangat strategis jika mengedepankan aspirasi dan partisipasi dari para PKL Mangkubumi yang faktanya sebagian besar menolak (KR,
Gambaran Multidimensionalitas Kasus
Kasus Relokasi Pedagang Klithikan dalam kerangka administratif-teknokratis
Berdasarkan beberapa lapis pemaknaan kebijakan publik, maka kasus ini setidaknya bisa menggambarkan adanya tahapan-tahapan dalam pemaknaan kebijakan publik. Sebagai bentuk dimensi decision making, Pemkot jelas talah melampaui lapis pemaknaan tersebut. Keputusan yang diambil Pemkot tidak hanya sebatas pada melakukan atau tidak melakukan sesuatu tetapi lebih pada sebuah proses mencari solusi bagi para pedagang sekaligus untuk mewujudkan ketertiban. Proses politik terjadi pula ketika wacana relokasi ini dibahas oleh para politisi dan akhirnya bisa disetujui menjadi peraturan wali.
Ketika proses politik tersebut telah menghasilkan suatu bentuk kebijakan, maka pemerintah menyusun prosedur untuk memudahkan implementasi dan operasional kebijakan di masyarakat. Proses tersebut menjadi sangat administratif dan teknokratis ketika pemerintah menyusun standar dan prosedur kebijakan berdasarkan fase kerja para pejabat publik. Proses ini mengacu pada suatu rancangan yang diandaikan bisa menjadi solusi terbaik bagi obyek kebijakan. Meskipun demikian, dalam proses ini juga masih dimungkinkan terdapat unsur-unsur politis dalam bentuk kepentingan-kepentingan, baik itu pemerintah maupun masyarakat.
Dalam tahap ini, masalah yang paling banyak muncul terkait dengan agenda setting mengapa kebijakan tersebut di buat. Kebijakan publik seharusnya sensitif terhadap persoalan yang terjadi di masyarakat, bukan hanya reaktif dan dibuat ketika masalah tersebut terjadi. Dalam fase agenda setting, pemkot bisa dikatakan telah melakukan simplifikasi terhadap permasalahan. Logika pemerintah untuk melakukan relokasi merupakan logika yang bersifat administratif yaitu untuk mewujudkan ketertiban. Sedangkan konteks sosial ekonomi dan sosial para pedagang terkesan dikesampingkan. Diagnosa terhadap permasalahan hanya sekadar menemukan berbagai bentuk prosedur administratif untuk mengatasi masalah. Proses komunikasi tidak bisa dijalin dengan baik sehingga masih banyak pihak yang kontra dan sebagian besar pedagang tidak mau direlokasi.
Secara administratif setelah kebijakan tersebut di buat, pemerintah melakukan berbagai bentuk prosedur. Tahap ini dimulai dari mekanisme pendaftaran yang dibuka pada tanggal 5 sampai 7 November. Meski demikian Pemkot Yogyakarta mengaku telah memegang data pedagang yang diperoleh dari hasil komunikasi dengan seluruh paguyuban pedagang klithikan di Mangkubumi, Asemgede, serta Alun‑alun Kidul. Tidak hanya menyantumkan by name mereka yang pro, tetapi juga yang kontra relokasi. Setelah pendaftaran tanggal 5 ‑ 7 November, Pemkot Yogyakarta segera menindaklanjutinya dengan zonasi pada 8 November serta pengundian lahan dasaran 9 November. Pemkot pun mencantumkan jatah bagi mereka yang kontra relokasi.
Mekanisme pendaftaran dilakukan dengan menunjukkan identitas diri berupa KTP serta fotokopinya, foto diri ukuran 3x4 sebanyak dua lembar, serta bukti pedagang. Setelah itu akan dilakukan zonasi berdasarkan jenis dagangannya. Kemudian dilakukan pengundian sehingga masing‑masing pedagang mendapatkan kartu hasil lotere (KHL) sebagai bukti pedagang sementara. Otomatis, setelah dapat KHL tersebut, pedagang bisa langsung menggunakan lapaknya.[4]
Berbagai kemudahan yang diberikan Pemkot terkait dengan relokasi tersebut tetap membuat sebagian besar pedagang Klithikan tidah mau pindah. Mereka tetap akan menunggu hasil PTUN atas Perwal 45. Lembaga Ombudsman DIY juga menyarankan agar Perwal No 45 Tahun 2007 ditunda apabila sampai tanggal 31 Oktober belum ditemukan persamaan persepsi antara Pemkot Yogyakarta dengan PKL Pethikbumi.
Berbagai prosedur adminstratif ternyata tidak cukup digunakan sebagai instrumen pengelolaan konflik dalam implementasi kebijakan. Langkah berikutnya, pemerintah memberikan insentif kepada para pedagang dengan memberikan Kartu Bukti Pedagang (KBP) kepada 320 dari 719 pedagang ini yang secara simbolis diserahkan langsung oleh Asisten Administrasi Sekda Kota Drs Hardono kepada 5 pedagang di Pasar Klithikan Pakuncen, Rabu, 19 Maret 2008. [5]
KBP ini diterbitkan lebih cepat dari ketentuan dalam Perda Sesuai dengan Peraturan Daerah Nomer 5 Tahun 1992, bahwa Kartu Bukti Pedagang Pasar akan diterbitkan paling lama 6 bulan, namun untuk pedagang klithikan ini diterbitkan kurang dari 6 bulan dan sekarang telah dibagikan kepada seluruh pedagang. Untuk memperoleh KBP setiap pedangan dikenai biaya Rp 110 ribu, dan untuk pedagang makanan yang keseluruhan berjumlah 20 pedagang dikenai biaya Rp 164 ribu, Diterbitkannya KBP dengan biaya murah ini juga menjadi bukti nyata, bahwa tidak benar adanya isu menjelang relokasi yang menyebutkan bahwa untuk menempati lahan dasaran di Pasar Klithikan akan ditarik uang sampai jutaan rupiah. KBP dapat tersebut juga dapat dijadikan agunan pinjaman modal di Bank Jogja dan Bank BPD DIY.[6]
Setelah langkah-langkah prosedural ditempuh, Pemkot juga telah merancang suatu visi dan misi yang indah setelah kebijakan tersebut terrealisasi. Walikota dalam acara Tasyakuran menjelang Buka Lawang Pasar Klithikan Pakuncen tanggal 10 November 2007 mengatakan bahwa tekad Pemkot untuk memindah pedagang klithikan di Jalan Mangkubumi, Jalan Asem Gede, dan Alun-alun Kidul ke Pasar Klithikan Kuncen ini untuk meningkatkan status hukum pedagang dari pedagang informal menjadi pedagang formal. Ditambahkan dengan bersatunya pedagang, diharapkan pembeli dari berbagai tempat juga akan menyatu, sehingga pembeli bisa mendapatkan semua yang mereka butuhkan tidak harus datang ke tiga tempat sebelumnya. Keberadaan pasar Pakuncen ini juga diharapkan lebih meningkatkan perkembangan kawasan pakuncen itu sendiri. Pemilihan lokasi di bekas Pasar Pakuncen ini karena dilihat potensi perkembangan wilayah di Pakuncen sangat pesat dalam 5 tahun terakhir ini. Selanjutnya, Pemkot berjanji untuk mempromosikan keberadaan Pasar Klithikan Pakuncen sehingga akan meningkatkan jumlah pengunjung bahkan akan dijadikan ikon pariwisata andalan di Kota Yogyakarta.[7]
Kebijakan publik yang berpola teknokratis administratif mengandaikan adanya penyederhanaan terhadap kompleksitas sebuah dinamika persoalan masyarakat. Peyederhanaan tersebut kemudian menimbulkan adanya distorsi yang akhirnya berujung pada konflik. Menghasilkan suatu rumusan dan langkah kebijakan yang akurat bukanlah sutu hal yang mudah untuk diwujudkan. Apalagi dalam kasus ini, banyak aktor yang kemudian terlibat. Kebijakan teknokratis hanya berada pada lingkup penyebab, kebijakan dan efek yang saling berhubungan, namun kebijakan tersebut tidak sensitif terhadap konteks.
Penyelesaian masalah secara administratif dan teknokratis yang telah dilakukan pemkot ternyata tidak mampu menyelesaikna pesmasalahan. Seberapun detail prosedur yang telah dibuat untuk menunjang relokasi pasar Klithikan mulai dari penyediaan tempat baru sampai adanya bantuan masa transisi 40rb/hari selama 7 hari, dan 20rb/hari selama 3 bulan pada masa adaptasi. Dengan syarat menunjukkan KTP dan Kartu Bukti Pedagang Pasar (KBP) ternyata tetap mendapat resistensi dari pedagang yang tidak mau pindah. Dalam hal ini, pendekatan administratif telah gagal menerjemahkan keinginan masyarakat dan kepentingan pemkot dalam mekanisme win-win solution.
Pendekatan yang bersifat teknokratis tetap dilaksanakan Pemkot padahal obyek kebijakan tersebut merupakan sektor ekonomi informal. Sehingga implemetasi kebijakan dalam logika para pedagang Klithikan justru bisa meminggirkan kaum ekonomi lemah seperti mereka. Pemkot seakan mengetahui apa yang terbaik bagi para pedagang Klithikan sehingga kebijakan relokasi tersebut mengeksklusikan beberapa faktor sosio kultural yang seharusnya menjadi pertimbangan. Ketidaksambungan persepsi antara pemkot dan para pedagang inilah yang menimbulkan pro dan kontra terhadap kebijakan yang telah dibuat.
Kebijakan Relokasi Pasar Klithikan dalam Konteks Intervensi Sosio Kultural
Kebijakan relokasi tersebut juga bisa digunakan untuk menggambarkan bentuk pemaknaan kebijakan publik sebagai intervensi sosio kultural dengan mendayagunakan berbagai instrumen untuk mengatasi persoalan publik. Secara psikologi kultural, para pedagang kakilima di jalan Mangkubumi, Asem Gede dan Alun-alun kidul telah merasa nyaman dengan pekerjaan mereka meskipun dalam status pedagang informal. Lamanya mereka berjualan membuat mereka telah memiliki pelanggan tetap dan penghasilan yang memadai. Kebijakan pemkot untuk merelokasi keberadaan mereka membuat mereka merasa khawatir bahwa tempat baru yang telah disediakan akan mengurangi pelanggan sekaligus penghasilan mereka.
Lokasi baru Pasar Klithikan yang berada di sisi selatan pinggiran
Mekipun pemerintah telah menggunakan berbagai instumen untuk mengatasi persoalan publik, namun sikap interventif pemerintah menagasikan kekuatan informalitas para pedagang Klithikan. Pemkot tidak sensitif terhadap persoalan. Analisis Ancas Waluyo dalam www.kompas.com menguraikan persoalan konteks sosio kultural tersebut. Ia mengatakan bahwa formalisasi pedagang klithikan dalam satu area terpadu ini memang menjadi dilema tersendiri. Di satu sisi, lokalisasi ini akan memberikan kenyamanan serta menjamin kepastian berusaha. Ironisnya, belum tentu semua pedagang dapat menikmati fasilitas megah tersebut, mengingat biaya yang harus dikeluarkan untuk mengaksesnya cukup mahal.
Menjamurnya jumlah pedagang dan kian meningkatnya omzet bisnis klithikan tak dapat dipungkiri karena ditunjang fleksibilitasnya dalam merespon pasar. Dalam hal ini, di tengah komunitas klithikan yang sangat heterogen, tak ada aturan yang membatasi jumlah dan jenis barang yang harus diperdagangkan. Rasa senasib dan sepenanggungan menjadi nuansa lain di kancah bisnis klithikan sehingga mampu menghadirkan suasana pasar yang khas merakyat dan penuh kegotongroyongan dalam konsep egalitarianisme. Kentalnya nuansa kekerabatan dan hadirnya sentuhan-sentuhan personal, yang tercermin melalui proses tawar-menawar dalam setiap transaksinya juga membuat bisnis klithikan begitu hidup dan penuh warna.[8]
Konteks-konteks inilah yang dilupakan oleh Pemkot ketika memaksakan kebijakan relokasi tersebut kepada para pedagang Klithikan. Pemkot terkesan kurang mendalami persoalan. Intervensi sosio kultural gagal dilakukan oleh Pemkot karena permasalahan hanya dilihat melalui instrumentasi kebijakan yang telah ditetapkan tanpa adanya pendalaman konteks. Meskipun demikian, Pemkot telah berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan ketertiban sekaligus memberi kenyamanan terhadap para pedagang yang direlokasi dengan menyediakan tempat yang baru.
Interaksi Tak Sempurna antara Pemkot dan Masyarakat
Kebijakan tidak hanya dipahami sebagai sebuah konsep intervensi pemerintah terhadap persoalan publik, tetapi dipahami sebagai proses interaksi. Dalam proses ini, terdapat mekanisme pembangunan konsensus antara kepentingan pemerintah dan masyarakat. Suatu interaksi yang ideal pasti melibatkan proses partisipasi dari masyarakat, akuntabilitas dari pemerintah dan proses aktualisasi kebijakan. Mekanisme tersebut dapat dipastikan akan melibatkan banyak pihak sehingga konflik menjadi keniscayaan. Kasus relokasi pedagang Klithikan sedikit banyak telah menjangkau pada level pemaknaan ini sehingga kasus ini juga relevan untuk menggambarkan pengelolaan konflik sebagai konsekuensi bentuk interaksi pemerintah dan masyarakat.
Interaksi tersebut ditunjukkan dengan adanya peran masing-masing aktor yang saling berkaitan. Pemkot berperan dalam formulasi sekaligus penetapan prosedur dalam implementasi kebijakan, sedangkan masyarakat berperan sebagai obyek yang menjalankan keputusan pemerintah.
Proses dalam pemerintah
Proses interkasi tersebut terganjal dengan kurangnya komunikasi dan sosialisasi kebijakan yang akan dilakukan oleh Pemkot. Berbagai proses yang ada dalam masyarakat seakan dinegasikan dari pembuatan kebijakan tersebut.
Ketidaksinkronan interaksi ini terlihat dari bagaimana keterlambatan Pemkot dalam merespon permasalahan. Pemkot tidak segera menyediakan lahan ekonomi bagi para pedagang kakilima sejak semula. Kebijakan yang dihasilkan bisa dikatakan sebagai sebuah respon yang terlambat ketika kebijakan itu baru dikeluarkan setelah para pedagang kakilima merasa nyaman mencari sumber ekonomi di tempat seperti Jalan Mangkubumi, Asem gede dan Poncowinatan.
Proses interaksi tersebut tidak hanya berlangsung antara pemerintah dan para pedagang yang menjadi obyek kebijakan, melainkan melibatkan aktor-aktor lain seperti LSM dan masyarakat umum. Masyarakat juga berkepentingan terhadap implementasi tersebut.
Pemkot tidak mampu mengelola kapasitasnya termasuk memberi lahan perekonomian bagi rakyatnya. Sedangkan ketika rakyat mencoba untuk mencari lahan ekonominya sendiri, Pemkot baru turun tangan untuk meresponnya melalui kebijakan relokasi.
Kebijakan Kerangka Democratic Governance
Sebuah kerangka democratic governance dibangun berdasarkan adanya responsifitas dalam skala, bentuk, ketepatan cara, urutan yang tepat, sesuai keadaan masyarakat yang dihadapi. Dimensi yang mendasari responsifitas adalah adanya persoalan kapasitas individu dan kelembagaan. Tidak selamanya apa yang dilakukan pemerintah selalu salah. Dimata rakyat yang menuntut akuntabilitas, responsifitas pemerintah adalah persoalan substansi kebijakan. Upaya apapun yang ditempuh pemerintah memang selalu dilematis. Meskipun terdapat tuntutan maximizing gain collective tapi pasti tetap ada korban.[9]
Dalam kasus ini, Pemkot sebenarnya sudah memiliki niat baik, apalagi dengan menyediakan tempat yang baru bagi pedagang Klithikan yang direlokasi. Permasalahannya, kebijakan tentu saja tidak bisa memuaskan semua pihak. Tetap ada pedagang yang tidak bisa menerima kebijakan tersebut.
Mekanisme dalam segitiga democratic governance yang terdiri dari government from the people, by the people, dan for the people[10], sedikit banyak bisa terlihat dari kebijakan ini. Partisipasi telah dibuka melalui mekanisme komunikasi sebelum Perwal tentang relokasi tersebut disahkan. Pengelolaan kebijakan bisa dikatakan telah dilaksanakan oleh institusi yang transparan dan akuntabel serta kebijakan tersebut juga dimaksudkan sebagai bentuk responsifitas untuk kepentingan masyarakat. Responsifitas tersebut hadir dari adanya visi pemerintah untuk menjamin ketertiban dan penataan ruang sekaligus memberu ruang ekonomi bagi para pedagang Klithikan.
Permasalahaan yang kemudian muncul terletak pada tidak diperhatikannya proses yang terjadi dalam masyarakat menyangkut kondisi sosial dan ekonomi yang telah terbangun sebelumnya. Kemapanan tentu sulit untuk ditukar dengan memulai dari awal di sebuah tempat yang baru yang mungkin akan banyak mengurangi jumlah pelanggan.
Meskipun tetap tidak bisa memuaskan semua pihak, kebijakan relokasi yang dilakukan Pemkot merupakan salah satu contoh kebijakan yang memuaskan dan ditaati banyak pihak. Hal ini terbukti dari adanya proses yang menunjukkan semakin banyaknya pedagang yang mau pindah menempati lokasi yang telah disediakan pemerintah.
Mekanisme Pengelolaan Konflik dalam Kasus
Konflik menjadi suatu keniscayaan dalam implementasi kebijakan karena melibatkan kepentingan banyak pihak. Namun hal yang penting adalah bagaimana mengelola konflik tersebut dan mengkonversinya menjadi suatu sumber daya sehingga implementasi kebijakan dapat berjalan secara maksimal.
Konflik dalam kasus ini menyangkut dua aktor utama yaitu Pemkot dan pedagang Klithikan. Pemkot melalui kebijakannya bermaksud ingin melakukan relokasi sedangkan pedagang dengan berbagai alasan setuju untuk dilakukan penataan di lokasi tersebut.
Menarik melihat bagaimana Pemkot mengelola konflik yang terjadi. Kasus ini menjadi salah satu contoh sukses pemerintah dalam pengelolaan konflik. Meskipun sempat terjadi unjuk rasa, namun aksi tersebut tidak sampai berlarut-larut dan berujung pada kekerasan. Pemkot berhasil melakukan pengelolaan ide dimana para pedagang yang tidak mendukung relokasi tetap diberi kesempatan untuk menempati Pasar Pakuncen yang telah disediakan. Pemerintah telah bisa mengambil sikap yang tepat dimana ia tidak memusuhi para pedagang yang kontra terhadap kebijakan relokasi.
Konflik dikelola melalui bentuk negosiasi dan kompromi[11], dimana pemerintah terus melakukan sosialisasi program dan kebijakannya yang berorientasi ke depan. Meskipun terus melakukan negosiasi, Pemkot telah bersikap tegas terhadap pedagang yang tidak mau direlokasi. Sikap tersebut disampaikan oleh Assisten Sekda II Bidang Pemerintahan Pemkot Yogyakarta Sarjono. Sarjono yang juga Mantan Kepala Bagian Hukum Pemkot Yogyakarta tersebut mengatakan bahwa ia tidak akan melakukan kompromi kepada PKL yang ngotot tidak mau direlokasi. ”Silakan saja, tapi jangan berdagang di lokasi lama,” tegasnya.[12] Pemkot telah berusaha untuk memuaskan kepentingan banyak pihak tetapi tetap memiliki frame yang tegas terhadap kebijakannya.
Kesimpulan
Melalui kompleksitas kasus relokasi pedagang Klithiakan di atas, dapat dilihat bahwa dalam satu kebijakan, terdapat multidimensionalitas kebijakan. Kasus ini dapat dilihat mulai dari dimensi administratif-teknokratis sampai pada model democratic governance. Selain itu, kasus ini juga memperlihatkan adanya uapaya advokasi dan pengelolaan konflik.
Dari data-data dan sumber yang diperoleh, secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan relokasi pedagang Klithikan tersebut merupakan bentuk kebijakan model rasional yang dikemas dalam kerangka democratic governance dengan adanya bentuk interaksi antara Pemkot dan masyarakat. Model kebijakan pemerintah ini merupakan model yang dianggap ideal karena disamping mempertimbangkan data-data dan informasi-informasi yang lengkap, akan tetapi juga menyeluruh meliputi segi-segi kehidupan yang harus diperhatikan serta diperhitungkan secara mendalam dan seksama.[13]
Namun, hal yang terjadi dalam kasus ini adalah Pemkot kurang bisa mendiagnosis permasalahan secara mendalam sehingga terdapat segi sosio kultural dan keadaan ekonomi yang kurang mendapat perhatian. Dari konteks inilah permasalahan dan konflik berawal.
Model ini juga bisa dilihat dari tahapan-tahapan prosedur yang telah ditetapkan Pemkot dalam kasus relokasi pedagang Klithikan. Keseluruhan proses relokasi dilaksanakan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang lengkap dengan pelaksanaan teknis yang matang.[14] Hal ini bisa dilihat bagaimana detail pelaksanaan relokasi mulai dari pendataan, pendaftaran sampai pembagian KBP. Pemkot juga telah memberikan insentif secara ekonomi melalui kemudahan modal. Selain itu, visi ke depan juga telah ditetapkan yaitu menjadikan pasar Pakuncen sebagai salah satu ikon Pariwisata kota Yogyakarta.
Kebijakan tersebut merupakan salah satu bentuk kebijakan yang ideal yang mengandaikan semua pihak bisa diuntungkan. Para pedagang kakilima bisa mendapat tempat yang lebih layak dan status mereka menjadi pedagang formal. Sedangkan Pemkot dapat melaksanakan kapasitasnya untuk menjamin ketertiban melalui penataan ruang. Ketika lokasi baru tersebut berhasil menjadi ikon Pariwisata, maka Pemkot juga akan diuntungkan dengan masuknya wisatawan.
Meskipun kebijakan tersebut diambil melalui rasionalitas pemerintah, Pemkot tetap berusaha untuk melakukan interaksi dengan masyarakat. Usaha tersebut patut dihargai meskipun tetap terdapat konflik antara pihak yang pro dan kontara terhadap kebijakan karena sosialisasi yang kurang maksimal. Pengelolaan konflik juga bisa dilakukan dengan baik. Indikatornya adalah, pasar Pakuncen saat mulai ramai dan semakin banyak pedagang Klithikan yang pidah ke sana.
Suatu kebijakan dengan nalar administratif dan teknokratis tidak selamanya berdampak buruk ketika hal ini diimbangi dengan mekanisme interaksi untuk mencari win-win solution dan meminimalisasi konflik. Kebijakan tidak hanya berupa tahapan untuk mencapai tujuan melainkan juga merupakan tahapan untuk mencapai konsensus. Gabungan antara prosedur dan interaksi tersebut akan membuat suatu kebijakan yang komprehensif di level perumusan dan menjangkau permasalahan sosial di level implementasinya.
Referensi:
Buku:
Pratikno, Dr. dkk. 2004. Mengelola Dinamika Politik dan Sumber Daya Daerah. Yogyakarta: S2 Polod UGM
Soenarko. 2000. Public Policy: Pengertian Pokok untuk Memahami dan Analisa Kebijakan Pemerintah. Surabaya: Airlangga Univ. Press
Catatan Bahan Kuliah Kebijakan Publik, disampaikan oleh Dr. Purwo Santoso dan Dra. Ratnawati.
Peraturan Daerah:
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor. 26 Tahun 2002 tentang Penataan Pedagang Kakilima
Website:
http://www.kompascetak.com/kompas-cetak/0706/27/jogja/1039005.htm
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0611/18/jogja/1030852.htm
http://www.bppijogja.org/?pilih=lihat&id=46
http://www.bernas.co.id/news/CyberMetro/METRO/4796.htm
http://www.jogja.go.id/index/extra.print/1694
http://www.jogja.go.id/index/extra.print/1694
http://www.seputarindonesia.com/edisicetak/jawa-tengah-diy/relokasi-pkl-jadi-bom-waktu.html.
[1] Catatan kuliah Kebijakan Publik, Lapis Pemaknaan Kebijakan Publik, 19 Februari 2008 yang disampaikan oleh Dr. Purwo Santoso.
[2] Di kutip dengan perubahan dari: Kompas online, Rabu, 27 Juni 2007. Klithikan: Menuju Relokasi Eks Pasar Hewan Kuncen. http://www.kompascetak.com/kompas-cetak/0706/27/jogja/1039005.htm
[3]Di kutip dengan perubahan dari: Situs Percobaan BPPI Yogyakarta, Pro Kontra Relokasi Pasar Klithikan. Selasa, 30 Oktober 2007. http://www.bppijogja.org/?pilih=lihat&id=46
[4]Dikutip dengan perubahan dari: Hari Ini Pendaftaran Dibuka Pethikbumi Nyatakan Tidak akan Mendaftar. Kamis, 27 Maret 2008. http://www.bernas.co.id/news/CyberMetro/METRO/4796.htm
[5]Berita Utama, Pedagang Klithikan Terima KBP. http://www.jogja.go.id/index/extra.print/1694. Rabu, 19 Maret 2008.
[6] ibid
[7] Dikutip dengan perubahan dari: Berita Utama, Walikota Berharap Pasar Klithikan Membawa Berkah. Selasa, 13 November 2007 . http://www.jogja.go.id/index/extra.print/1694
[8] Disarikan dari: Ancas Waluyo Jati. Menyoal Kawasan Ekonomi Klithikan. Kompas online Sabtu,
[9] Catatan Kuliah Kebijakan Publik. Kunci Pengelolaan Governance. 18 Maret 2008 oleh Dr. Purwo Santoso.
[10] ibid
[11] Salah satu bentuk resolusi konflik adalah kompromi diamana terdapat mekanisme dialogois dan proses saling tawar menawar, saling memberi dan menerima. Sedangkan negosiasi bertujuan untuk mencari klarifikasi menegnai isu dan mencari kesepakatan sebagai penyelesainnya. Lihat, Dr. Pratikno, dkk. Mengelola Dinamika Politik dan Sumber Daya Daerah. S2 Polod UGM.
[12]Koran Sindo–Yogyakarta. Relokasi ratusan pedagang klithikan Jalan Mangkubumi,Asem Gede dan Alun-Alun Selatan ke Pasar Klithikan Pakuncen,Wirobrajan, bakal jadi bom waktu. http://www.seputar indonesia.com/edisicetak/jawa-tengah-diy/relokasi-pkl-jadi-bom-waktu.html. Senin,
[13]Soenarko. Public Policy: Pengertian Pokok untuk Memahami dan Analisa Kebijakan Pemerintah.
[14] Ibid, hal 231.
km puya info banyak tentang relokasi klithikan ya? boleh tw emailmu g? buat sharing or diskusi tg hal itu coz aku ada penelitian tentang kasus itu.
BalasHapusbtw kmu anak fisipol ugm? jurusan apa? aku anak IP'05
Trim's Berat
oy emailku
BalasHapuscyber_of_riena@yahoo.com