2 Oktober 2007
saya hanya berpretensi untuk menceritakan kembali apa yang pernah saya temui dan sedikit bisa dikatakan menarik. Apapun itu, cobalah anda simak dulu.
Cerita 1
Seorang nenek tiba-tiba menghampiriku ketika aku sedang menunggu bus jalur 12 atau 15 yang lewat di depan Masjid Kampus UGM. Huh, panas-panas begini, rasanya pengen segera sampai ke kost. Merebahkan diri di kamarku yang super sejuk. Sedikit kaget ketika nenek itu mulai mengajakku berbicara. Seorang nenek dengan kebaya dan kainnya yang telah lusuh. Di pundakknya, terdapat selendang yang tak kalah lusih dengan bajunga. Selendang itu digunakannya untuk membawa sebuah buntalan kain yang entah berisi apa. Dia memenaggilku dengan sebuatan “Bu”. Apakah aku sudah seperti ibu-ibu? Batinku dalam hati.
Nenek itu mula-mula menanyakan aku akan naik jalur berapa. Lalu mengalirlah ceritanya yang tampak sekali kalau cuma karangannya saja. tapai ya gak tahu juga kalau ceritanya itu memang benar terjadi. Hanya nenek itu dan Tuhan yang tahu. Ia bercerita akalu ia datang dari jauh, Semarang tepatnya. Ke Jogjakarta dalam rangka mencari anaknya yang pergi entah kemana. Meninggalkan seorang cucu yang masih bersekolah SD. Cucunya itu sudak tiga kali minta baju baru, tapi apa daya si nenek tak mampu beli. Buat makan sehari-hari sudah susah. Maka dari itu, ia bertekad untuk mencari ibu sang cucu. Mau minta uang sekedar buat bertahan hidup.
Ujung-ujungnya, si neneklah yang minta uang padaku. Untuk ongkos pulang katanya, sayang sekali, aku sama sekali tak bersimpati. Mungkin saat sudah merasa kalau nenek itu berbohong. Meskipun begitu, sepertinya kehidupan nenek itu memang susah. Maaf, aku tak bisa membantu, walaupun bisa saja aku memberikan uang padanya. Hatiku ini telah tertutup nampaknya. Aku hanya mengangguk-angguk saja mendengarkan ceritanya.
Beberapa saat kemudia, bus yang kutunggu akhirnya datang. Kutinggalkan si nenek yang masih terus merengek minta bantuan kepadaku.
Ini dunia memang penuh tipu daya. Tapi tak sepantasnya aku meninggalkannya begitu saja. siapa tahu kalau ia memang benar-benar mencari anaknya yang tak bertanggung jawab itu, maafkan aku, Nek.
………………………………………………….
Cerita 2
Yang ini sedikit berbeda.
Mengikuti kuliah Perubahan Politik. Disampingku, ada seorang ibu-ibu yang melanjutkan kuliahnya lagi setelah cuti beberapa tahun. Kalau tak salah, ia sudah angkatan 1998, meskipun kelihatan lebih tua, tapi ia masih lumayan pantas jadi mahasiswa. Niatnya besar untuk melanjutkan kuliah lagi setelah menikah dan punya anak. Beban yang tak ringan tentunya. Harus memikirkan tugas-tugas kuliah dan keluarga sekaligus. Kalau aku boleh memuji, ia termasuk seorang perempuan yang kuat.
Penampilannya sedikit aneh. Ia suka menggunakan jilbab lebar dan selalu berwarna biru. Baju bagian atasnya tak kelihatan, sedangkan bawahannya, ia kadang kenakan celana jeans yang terlihat lama tak dicuci. Kalau tidak, ia pake rok kotak-kotak bersar berwara merah dan putih. Sebuah kombinasi warna yang anek menurutku. Terkadang, ia menggunakan tas kecil yang diikat dikaki sebelah kiri. Tas berwarna coklat tua dengan beraneka pin yang menujukkan identitas Gadjah Mada. Selain itu, ia masih menggunakan tas pundak berwarna coklat juga.
Di tengah pelajaran, ketika dosen sibuk menjelaskan instabilitas akibat pertumbuhan ekonomi yang cepat, ia sibuk mencari-cari sesuatu di dalam tas pundaknya yang ia letakkan di lantai. Di dekat kaki kursi yang terletak tepat di depannya. Akhirnya, lembaran kertas yang dicarinya itu ketemu juga. Lembaran berwarna kuning. Sebentar kulirik tulisan yang tertera pada kertas itu, aku bisa menebak lembaran apakah itu. ternyata, rincian biaya untuk sekolah taman kanak-kanak. Terdepat deretan angka-angka yang tersusun rapi. Mungkin dalam hatinya, ia membayangkan berapa uang yang harus dikeluarkannya selama sebulan untuk biaya sekolah anaknya. Sedangkan suaminya, aku tak tahu ia bekerja sebagai apa. Ini juga tebakan-tebakan saja. belum tentu benar adanya. Sampai beberapa saat lalu, ia masih sibuk menekuni lembaran kertas penuh deretan angka itu. lalu dilipatnya kertas itu lagi dan dimasukkannya ke dalam tas. Sadar kalau ia telah ketinggalan beberapa catatan, dia melirik catatanku dan kubiarkan saja matanya mengikuti aliran huruf yang terus bergerak membentuk kalimat-kalimat seperti apa yang diucapkan dosen. Ibu itu kemudian memindahkan hasil penglihatannya ke dalam note booknya yang telah kelihatan tua. Kertasnya tak lagi putih bersih tapi sudah sedikit kekuningan.
Memikirkan dua hal dalam satu waktu. Selamat berjuang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar