Rabu, 10 Desember 2008

dari yang terdalam

Dari yang Terdalam: Tak Menyerah pada Ketakutan



Kita Tidak Mencari Takdir.

Tapi, Takdirlah Yang Mencari Kita.

Asal Kita Berlari Seiring Angin, Setajam Panah !!!

(Yusuf Maulana)

Isi tulisan ini, tidak lain tidak bukan hanyalah curahan hati. Mungkin akan banyak kesamaan dengan beberapa pemikiran dari mereka yang sama-sama mulai dicari takdir untuk menjadi seorang penulis. Menjadi penulis bukanlah sesuatu yang gampang. Perlu perjuangan, konsistensi, ketekunan, motivasi, yang paling penting adalah kemauan yang keras dan pantang menyerah.

Banyak hal yang menjadi penghambat bagi seorang penulis pemula, seperti saya. Faktor-faktor tersebut banyak berasal dari faktor internal dan eksternal. Dari dalam diri penulis pemula sendiri, terkadang banyak muncul berbagai bentuk ketakutan. Salah satunya adalah takut untuk dinilai—kurang percaya diri terhadap tulisan kita sendiri Mereka cenderung hanya menyimpan tulisannya dalam komputer atau buku harian. Padahal, tulisan kita sebenarnya adalah tulisan yang bagus. Ketakutan untuk dikomentari seharusnya justru menjadi motivasi agar lebih berani menampilkan tulisannya. Kritik yang membangun terhadap tulisan kita, bisa jadi bahan pemompa semangat untuk lebih baik dalam berkarya. Sedangkan pujian bisa jadi dianggap racun yang hanya akan melambungkan hati kita dan membuat kita merasa cepat puas dengan apa yang telah kita kerjakan.

Penulis pemula seperti saya biasanya juga takut untuk memulai. Bahkan ketika kita belum menghasilkan tulisan pun, kita sudah takut apakah tulisan kita nanti bisa baik atau buruk. Nilai yang diberikan terhadap tulisan kita adalah sesuatu yang subyektif. Ketika tulisan kita dinilai buruk, oleh teman barangkali, mungkin saja hal itu justru bagus menurut seorang pengamat sastra. Tergantung pada kriteria yang digunakan untuk menilai dan setiap orang pasti memilki kriterianya sendiri.

Takut untuk memulai ini bisa juga diartikan bahwa seorang penulis pemula biasanya memiliki ide-ide yang “wah”, hebat dan luar bisa. Namun ketika ide tersebut akan dituangklan dalam tulisan, kita malah jadi takut bagaimana akan memulai. Saat itulah kreatifitas penulis pemula justru dimatikan dengan ide yang terlalu besar. Sama-sama sebagai seorang penulis pemula, saya sebenarnya takut juga untuk sekadar membagi pengalaman dalam mengatasi ketakutan. Saya bisa memulai dengan ide yang sederhana, yang tak banyak menjadi sorotan orang tetapi justru menarik ketika ide tersebut digabungkan dengan imajinasi dan realitas yang ada. Ide-ide sederhana tersebut biasanya berkeliran di sekitar penulis. Dari apa yang dilihatnya, didengar, maupun dia mati, segalanya bisa menjadi sebuah ide dalam tulisan. Hanya saja terkadang sebagai penulis pemula, kita kurang peka terhadap segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Lingkungan dan segala aktifitas yang berlangsung di dalamnya terkadang hanya terlewat begitu saja.

Ketakutan lain yang biasa menghinggapi hati penulis pemula adalah takut sendiri. Tak banyak dari kita yang dipilih oleh takdir untuk menjadi seorang penulis. Penulis terkadang harus berjuang dengan lingkungan yang tak bisa dijadikan motivasi. Ketika di SMA, saya sangat tertarik dengan sastra dan tulisan-tulisan fiksi yang menurut saya mampu membangun imajinasi yang luar biasa. Namun setelah kuliah, tuntutan tugas mengharuskan saya menjauh dari sastra dan bergelut dengan berbagai makalah, buku-buku politik, filsafat, yang selalu berada dalam penjara metodologi dan ketentuan-ketentuan ilmiah. Puisi-puisi mulai pergi, cerpen dan novel-novel sastra lama-kelamaan jadi menghilang. Hingga motivasi menulis saya hanya skedar untuk memenuhi tuntutan tugas-tugas kuliah. Menulis karya sastra menjadi bagian yang untuk sementara teralienasi dari rutinitas sehari-hari. Ketakutan untuk sendiri yang saya hadapi justru memunculkan motivasi untu mencari komunitas yang bisa kembali membangkitkan semangat untuk menulis karya sastra.

Apa yang banyak saya dapati kemudian adalah tulisan-tulisan jurnalisme dalam koran, atau tulisan-tulisan ilmiah seperti dalam jurnal dan buku. Referensi bacaan sastra berkurang. Lingkungan benar-benar melakukan determinasi terhadap kebiasaan menulis saya. Yang semula bisa menentukan bahasa seperti apa yang dipakai, kini harus dibatasi dengan kaidah kepenulisan. Tapi yang membuat saya jadi semangat adalah munculnya genre baru dalam dunia jurnalistik dimana terdapat perpaduan antara bahasa sastra dan bahasa jurnalistik meskipun sangat sulit bagi penulis pemula untuk menguasai perpaduan antar keduanya.

Bagaimana seorang penulis pemula bisa mengambangkan tulisannya ketika media hanya memuat tulisan orang-orang itu saja. Hal ini bisa menjadi ketakutan tersendiri. Redaksi sebuah koran misalnya, kadang tidak melihat obyektifitas dari tulisan yang diterima. Buktinya jelas bahwa nama-nama yang muncul dalam artikel di koran hanya itu-itu saja. asal melihat pengarangnya adalah orang terkenal yang sudah biasa menulis maka akan langsung dimuat tanpa dilakukan verifikasi terlebih dahulu. Lalu bagaimana nasib penulis pemula apabila sistem keredaksionalan surat kabat hanya berkutat pada subyektifitas editornya saja. Di balik semua itu, muncul cerita lain. Susah memang bagi penulis pemula untuk mencari nama. Tetapi ketika perjuangan itu tak berakhir dengan putus asa, akan tetap ada peluang agar tulisan kita bisa dibaca dan bermanfaat bagi orang lain. Artikel, cerpen, atau tulisan kita bisa saja dimuat setelah limaratus kali ditolak media. Namun seperti halnya sebuah ungkapan, banyak yang tak setia pada harap. Banyak pula penulis pemula yang putus asa hanya karena sekali ia mengirimkan tulisannya dan sekali itu juga tulisannya ditolak media.

Ketakutan lain yang saya rasakan sebagai penulis pemula adalah takut terhadap waktu. Banyak muncul pertanyaan, “sempatkah saya menulis?” meskipun barang selembar, dua lembar. Waktu terkadang menghantui para penulis pemula. Banyaknya aktifitas lain menjadi salah satu penghambat ketika kita tidak bisa mengalahkan waktu. Sehingga penting bagi penulis pemula untuk menulis secara rutin dalam waktu yang sudah terjadwal. Menulis bisa menjadi candu. Ketika kita sehari saja tak menulis, mungkin akan terlalu banyak inspirasi yang membebani pikiran kita. Akan sangat disayangkan pula ketika keesokan harinya inspirasi itu telah hilang bersama mimpi semalam.

Telah banyak buku beredar, tips-tips dan solusi yang ditawarkan untuk mengatasi berbagai ketakuan bagi penulis pemula. Akan menjadi hal yang sangat sia ketika ketakutan lebih memilih kita daripada takdir sebagai penulis. Segala ketakutan itu datang dari kita sendir. Bukan orang lain, bukan teman, bukan pula buku-buku yang akan menghilangkan ketakutan itu, tapi diri kita sendiri. Akan sangat sia pula ketika kita berhenti di sini hanya karena ketakutan. Maka sudah sepantasnya apabila kita tidak menyerah pada ketakutan. Berlari seiring angin, setajam panah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar