Menepuk Pundak
Kemiskinan. Benda ini seakan menjadi hantu yang paling menakutkan bagi perkembangan perekonomian di Indoensia. Permasalahan kemiskinan menjadi hal paling sulit diatasi. Berbagai bentuk kebijakan pemerintah telah diimplementasikan, namun masalah ini tak kunjung bisa diselesaikan. Mengurai permasalahan kemiskinan ibarat menguarai benang kusut. Apalagi ketika kemiskinan tak hanya dimaknai dari sisi ekonomi, tetapi juga miskin dalam banyak sisi, seperti kemiskinan dari sisi sosial ataupun budaya. Namun yang paling disoroti tentulah kemiskinan yang diukur dengan indikator ekonomi seperti pendapatan, atau kepemilikan aset.
Logika Pemerintah sebagai Pangkal Permasalahan Kemiskinan
Dari berbagai sumber permasalahan kemiskinan, tampaknya tak banyak dari kita yang menyadari bahwa kemiskinan tersebut tidak hanya berasal dari masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok dalam hidupnya. Permasalahan kemiskinan juga bisa berasal dari setting kebijakan pemerintah yang tidak mampu menolong mengatasi permasalahan dalam masyarakat tersebut.
Hal ini bersumber dari logika kebijakan pemerintah yang sangat bersifat teknokratis dan administratif. Pemerintah mengandaikan dirinya sebagai malaikat yang mengetahui segala hal dan berbaik hati untuk menghasilkan rumusan dan langkah kebijakan yang paling akurat. Dengan demikian, pemerintah telah menggagahi akar permasalahan dan tidak memahaminya sebagai suatu konteks yang dinamis. Substansi kebijakan menjadi monopoli para ahli sebagai perumus mimpi-mimpi yang sebenarnya tidak realistik.
Terkait dengan kemiskinan, ketika kebijakan tersebut bermasalah pada level formulasi maka implementasinya sudah dapat dipastikan akan bermasalah juga. Proses kebijakan hanya dimaknai sebagai “what the government choose to do or not to do” (Thomas Dye). Dengan pemaknaan ini maka permasalahan kemiskinan menjadi bentuk program pengambilan keputusan yang mengandalkan niat baik baik para teknokrat untuk menyelesaikannya. Kemiskinan hanya dimaknai secara dangkal yaitu masyarakat yang tidak punya uang, maka solusinya adalah bagi-bagi uang kepada masyarakat. Bagaimana proses dan substansinya, hal itu tidak lagi menjadi penting karena baik aparat birokrasi dan masyarakat sama-sama dapat uang. Masyarakat bisa saja senang dengan implementasi program seperti BLT, tetapi hal ini sebenarnya tidak menyelesaikan masalah.
Pemerintah memposisikan dirinya sebagai seorang dokter yang sanggup mengobati penyakit dalam masyarakat. Namun ketika dokternya sendiri sudah sakit, tentu saja permasalahan kemiskinan tidak dapat diatasi. Semakin parahnya kemiskinan juga terkait dengan kesalahan pemerintah dalam mendiagnosa substansi kemiskinan. Ketika diagnosa keliru dilakukan efeknya bisa menjadi panjang. Kesalahan diagnosa bisa berakibat pada kesalahan dalam memberi obat dan berakibat lagi pada penyakit yang akan semakin parah diderita oleh masyarakat.
Logika teknokratis juga mengandaikan adanya implementasi kebijakan yang sempurna karena telah melalui perhitungan yang matang dari para ahli perumus kebijakan. Sehingga, kebijakan tersebut diandaikan dapat berjalan tanpa konflik. Yang terjadi dalam masyarakat justru berkebalikan. Misalnya saja solusi permasalahan kemiskinan melalui program BLT. Banyak konflik yang timbul dalam masyarakat terkait dengan pendistribusiannya. Masalah tidak dipahami secara kontekstual dan diasumsikan berlaku general bagi seluruh masyarakat. Sederhananya, program BLT didistribusikan per kepala keluarga miskin. Masing-masing kepala keluarga mendapat jatah sejumlah uang. Konflik ini muncul karena setiap kepala keluarga tentu saja tidak memiliki jumlah anggota keluarga yang sama. Menjadi suatu hal yang tidak adil apabila satu keluarga dengan anggota
Kemiskinan merupakan bentuk obyek permasalahan yang membutuhkan interaksi antara negara dan masyarakat. Oleh karena itu, pemaknaan dan pemahaman terhadap kemiskinan tidak melulu berasal dari negara tetapi juga juga harus hirau terhadap pemaknaan kemiskinan oleh si miskin itu sendiri. Miskin bagi negara belum tentu miskin bagi rakyat. Bisa jadi orang yang dianggap miskin oleh negara sebenarnya memiliki ukuran kesejahteraan tersendiri yang bekerja secara spesifik dan tidak bisa digeneralisasikan.
Berbagai permasalahan di level implemantasi kebijakan hendaknya bisa menepuk pundak pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan. Proses ini tak hanya cukup dilakukan di level implemntasi tapi juga wajib dilakukan pada level perancangan dan instrumentasi kebijakan. Dan yang paling penting adalah kesadaran pemerintah untuk seimbang dalam menggunakan cara berpikir. Model teknokratis memang penting dilakukan untuk menghasilkan suatu rancangan kebijakan yang baik. Namun, konteks dan kondisi yang ada dalam masyarakat adalah hal yang tidak bisa dinafikan. Pemerintah tak bisa bertindak seperti malaikat yang menganggap dirinya tak pernah salah. Rancangan yang paling sempurna pun ternyata justru menimbulkan permasalahan baru, khususnya yang terkait dengan kemiskinan. Perlu kesadaran bagi pemerintah untuk lebih mengenal dirinya sendiri sebelum berusaha untuk mengenal masyarakatnya.
Solusi konkrit:
Analogi malaikat yang menebarkan rizki sepeerti isrofil. Malaikan mendapat amanah dari tuhan sedangkan pemerintah mendapat amanah dari rakyat. Apa konkritnya?????? Males mikir negara. La whong saya cuma hamba sahaya. Kawula alit yang cuma butuh duit. Katanya gak baik pake istilah-isltilah yang susah dimengerti kayak gitu. Coba cari sinonimnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar