14 Oktober 2008
Potret
Saya tidak tahu nama lengkapnya. Semua anak kost memanggilnya Mbak Ti. Ia adalah pembantu baru di kost kami. Pembantu yang lama mau kawin dengan pemuda di desanya. Mbak Ti sebenarnya juga berasal dari desa yang sama dengan pembantu kami sebelumnya. Namun mereka berdua sangat berbeda. Barangkali Mbak Ti memang belum pernah mencium bau kota. Tidak seperti pembantu sebelumnya yang sudah pernah jadi pembantu di Jakarta. Pembantu sebelumnya adalah seorang gadis beranjak remaja. Seperti halnya dengan remaja lain, ia pengen bergaya dan berpenampilan bak orang kota. Pakaiannya model jaman sekarang, kami pun kalah dengan dia. Hp nya model terbaru, beberapa waktu lalu, bahkan ia pernah berencana untuk memasang kawat gigi dengan biaya 500 ribu. Memang sedikit pemalas tapi kami sedikit masih bisa mamaklumi. Seperti itulah gambaran pembantu sebelumnya. Sebelum hari raya, ia meminta izin untuk berhenti bekerja dan segera melangsungkan pernikahan. Sayangnya, kabar terakhir yang kami dengar, calonnya malah kecelakaan dengan luka sedikit parah.
Saat saya datang ke kost setelah lebaran. Seseorang asing menyambut kedatangan saya dengan membukakan pintu. Baru ku ketahui kemudian kalau namanya adalah Mbak Ti. Penampilannya sederhana. Ia hanya mengenakan kaos dan rok yang terkesan ketinggalan jaman. Kulitnya hitam mengkilat berbau matahari. Baranhkali juga, setiap hari ia bergelut dengan sawah yang panas atau bekerja keras apapun itu. Satu yang kuingat adalah bau keringatnya yang menyengat. Seperti bau jerami yang ditumpuk beberapa hari (maaf ya, Mbak).
Berbeda dengan pembantu sebelumnya, Mbak Ti adalah orang yang sangat rajin. Saat semua pekerjaan telah dikerjakan, ia terkesan justru mencari pekerjaan-pekerjaan tak penting untuk mengisi waktu luangnya. Ia menyapu halaman di bawah pohon belimbing setiap kali ada daun yang jatuh. Ia suka berlari dengan cepat saat bel berbunyi untuk membukakan pintu. Tampaknya ia memang tak suka menganggur tanpa pekerjaan. Orang yang terbiasa bekerja keras memang begitu. Tak betah bersantai-santai tanpa ada yang dikerjakan.
Beberapa kebiasaanya sangat menapilkan model orang desa yang sebenarnya. Pertama, ia tak suka memakai alas kaki. Meskipun lantai di kost kami berlapir keramik, kami semua tetap menggunakan alas kaki di dalam rumah. Berbeda dengan Mbak Ti, ia malah tak betah kalau harus menggunakan alas kaki. Kaki telanjang di atas lantai beginya lebih nyaman. Satu hal lagi, ia tak pernah suka duduk di kursi. Ketika duduk, kursi kadanga menimbulkan bunyi keriut dan Mbak Ti tak menyukainya. Ia lebih suka duduk di lantai. Kami jadi tak enak sendiri kalau harus duduk di atas sedangkan orang yang lebih tua sedang duduk di bawah. Kebiasaannya lagi adalah melihat sinetron di televisi. Ia bertah sekali duduk berlama-lama di depan televisi dengan mulut ternganga melihat para artis kesukaannya sedang berakting. Kami jadi harus mengalah dengan Mbak Ti apabila menyangkut channel televisi. Ia menyebut sinetron-sinetron itu sebagai film. Suatu kali, kami sedang menonton berita tentang krisis ekonomi global. Mbak Ti datang lalu menanyakan,“Njenengan remen nonton berita nggih Mbak. Nek kula seneng nonton film.” Film yang dimaksudkannya adalah sinetron yang tak putus-putus diputar.
Barangkali Mbak Ti adalah orang yang kesepian. Sebagian dari kami memang jarang mengajakknya bicara kecuali hanya basa-basi. Seperti menawarkan makanan atau menanyakan apakah ia sudah makan atau belum. Sebagian dari kami lagi tak bisa berbahasa jwa smentara Mbak Ti tidak begitu paham dengan bahsa Indonesia. Memang aneh, bagaimana ia bisa mengikuti cerita dalam sinetron-sinetron itu? mungkin ia mengerti, hanya saja butuh waktu lama untuk bisa memahami. Mbak Ti memang kelihatan bukan orang berpendidikan, dari cara bicara dan berperilaku tampak berbeda sekali dengan pembantu sebelumnya.
Dari kabar yang saya dengar, Mbak Ti memang sudah mempunyai anak dan suami di desa. Ia terpaksa meninggalkan mereka demi mencari uang di Jogja. Sama halnya dengan pembantu sebelumya, ia juga berasal dari Gunung Kidul, tepatnya saya tidak tahu nama daerah lebih spesifiknya. Orang memang harus berkorban untuk mendapatkan sesuatu. Demikian juga dengan Mbak Ti yang harus mengorbankan keluarganya. Semoga saya ia bisa bertahan di sini. Tak rindu untuk pulang, mandapatkan pelukan hangat dari anak dan suaminya. Ini hanya bayangan saya, kalau pun Mbak Ti pulang, bisa saja buka pelukan hangat yang menyambutnya, tapi..entahlah, sudah cukup saya berandai-andai tentang Mbak Ti. Baru kuketahui belakangan kalau nama lengkapnya adalah Juwanti.
Semakin hari, Mbak Ti semakin terlihat kesepian. Ia suka ngelamun sendirian, duduk di lantai menghadap pohon belimbing yang terletak di antara rumah depan dan rumah bagian belakang. Entah apa yang dipikirkannya. Sore ini, kujumpai ia sedang berada dalam kemar sendirian. Kamar itu dibiarkannya gelap tanpa nyala lampu. Mbak Ti tengkurap di lanatai sambil menuliskan sesuatu pada selember kertas berukuran kecil. Barangkalai hanya sebuah pesan kepada keluarga dan anak-anaknya. Atau ungkapan perasaan yang tak bisa diceritakan kepada kami. Saya juga tak pernah menjumpai Mbak Juwanti makan. Apa memang dia tak pernah makan, atau saya hanya tidak tahu. Tak banyak dari kami yang peduli. Telah tenggelam Mbak Juwanti dalam kesepiannya. Juga malam untuk malam ini.
17 Oktober 2008
Malam ini saya baru saja mendengar secuil kisah hidup Mbak Ti yang ternyata tak mulus. Banyak kejadian yang telah dialaminya selama dua puluh delapan tahun kehidupannya. Mbak Ti adalah seorang perempuan yang hanya manamatkan pendidikan di sekolah dasar. Hidupnya sangat sederhana sebagaimana kebanyakan orang di desanya. Ibunya hanya memelihara beberapa ekor kambing dan kerjaannya sehari-hari adalah mencari rumput untuk pakan ternak-ternaknya. Perempuan-perempuan di desanya memilki tingkat pendidikan yang sangat rendah. Mungkin hanya dua atau tiga orang bisa menamatkan pendidikannya setingkat SMA. Mereka pun kemudian bekerja sebagai pelayan toko atau pergi keluar kota untuk menjadi pembantu rumah tangga.
Menginjak dewasa, Ibunya segera mendesak Mbak Ti untuk menikah. Dengan menikah, beban keluarga menjadi terkurangi. Mbak Ti kemudian menikah dengan seorang yang dicintainya di Desa itu. tak berselang lama, Mbak Ti dikaruniai seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama Bayu Putra Irawan. Sayangnya, anak itu meninggal dunia karena lahir premature. Anak itu lahir ketika usianya masih tujuh bulan dalam kandungan. Orang Desa memang tak pandai menjaga kesehatan, meskipun sedang hamil, Mbak Ti barangkali tetap keras bekerja sehingga tak menghiraukan kehamilannya. Kesadaran untuk sering kontrol ke dokter pun sangat rendah. Orang Desa kebanyakan hanya menuruti mitos-mitos yang berkembang untuk tetap menjaga kandungannya.
Beberapa bulan kemudian, Mbak Ti mengandung anak keduanya. Mungkin karena sudah pernag mengalami kegagalan, Mbak Ti lebih berhati-hati menjaga kandungannya. Anak kedunya berhasil lahir dengan selamat. Anak itu diberi nama Candra. Nama panjanganya saya lupa. Petaka dan ujian tak juga menjauh dari kehidupan Mbak TI. Suaminya meninggal dunia ketika anaknya berusia 14 bulan. Suaminya meninggal karena penyakit paru-paru setelah sempat dirawat di rumah sakit selama 2 hari. Berbagai kenangan kadangan mengusik pikirannya. Mbak Ti sangat sedih justru ketika berada di rumahnya. Ia mengingat semua kenangan dan memori dari suaminya. Kesedihan bertambah ketika anaknya yang saat ini berumur 3 tahunan sering menangis dan menjerit memanggil-manggil nama bapaknya.
Saat ini, Mbak Ti bekerja sekadar agar anaknya bisa minum susu. Sebelum bekerja di sini, Mbak Ti sempat juga bekerja di daerah sekita malioboro. Ia bekerja sebagai seorang pengasuh anak di sebuah rumah. Karena tak betah bekerja di sana, Mbak Ti kembali ke rumah sekitar sebulan. Saat tak bekerja, anaknya pun tak bisa minum susu. Itulah kenapa Mbak Ti langsung menerima tawaran kerja yang diberikan oleh pemilik kost ini. dari pengakuannya, Mbak Ti sedikit bosan bekerja di sini karena memang tak ada kerjaan. Kerjaannya hanya tidur-tidur saja. Tapi mau bagaimana lagi, “Sing penting anakku iso ngombe susu, Mbak.” Begitu penuturannya kepada saya. Saat saya tanya apakah Mbak Ti masih mau menikah lagi, ia menjawab, “Sebenere jik pengen, Mbak. Tapi wedi nek umpamana nikah neh engko bojoku raisa sayang karo anak.” Memang benar pemikiran Mbak Ti. Ia rela berkorban untuk tidak menikah demi anaknya.
18 Oktober 2008
Mulanya, kami membicarakan tentang musim hujan yang akan segera tiba. Ketika musim hujan, di desa akan segeera banyak pekerjaan. Menanam padi, menanam kacang, dan sebagainya. Tapi kalau musim kemarau, tak ada sawah yang bisa dikerjakan. Orang-orang beralih menjadi kuli bangunan atau hanya mencari rumput untuk ternak-ternak mereka. Betapa kehidupan sangat tergantung pada musim. Pada hujan.
Cerita tentang Mbak Ti akan saya lanjutkan kembali. Hari ini saya mendapat cuilan kisah tentang kehidupan Mbak Ti. Sejak empat puluh hari setelah kematian suaminya ternyata Mbak bereselisih paham dengan saudara iparnya, istri dari kakak suaminya. Kematian suaminya meninggalkan dua petak tanah di desa itu. Menurut hukum, yang akan mewarisi tanah tersebut tentu saja anak laki-lakinya. Tapi anak laki-lakinya saat ini belum cukup umur untuk meneriwa warusan. Mbak Ti kemudian menseertifikatkan tanah itu dengan nama suaminya, yang otomatis akan menjadi milik anaknya kelak. Hal ini membawa kecemburuan bagi saudara iparnya itu yang juga ingin mendapat bagian dari tanah warisan suami Mbak Ti.
Saat ini, Mbak Ti terpaksa kerja agar aset-aset peninggalan suaminnya tak terjual lagi. Di desa itu, tak ada uang yang bisa di dapat kalau tak menjual barang-barang seperti kayu atau mungkin ternak. Untuk selamatan kematian suaminya, Mbak Ti juga terpaksa menjual sapi orang tuanya. Tak ada bantuan dari mertuanya. Meskipun ada, Mbak Ti tak berani menggunakan uang pemberian mertuanya. Di desa memang susah cari uang. Dalam sebulan, untuk mendapatkan uang seribu rupiah saja susah. Barangkali ini terlalu hiperbolis bagi kita, bagi Mbak Ti, memang inilah yang dialaminya. Untunglah ia memiliki orang tua yang gemati (baca: perhatian). Ia hanya berprinsip asal orang tua dan anaknya bisa bahagia, maka Mbak Ti akan merasa bahagia. Meskipun ingin, tapi tak penting lagi baginya apakah akan berumah tangga lagi. Ia akan merawat anaknya baik-baik, menyekolahkannya, sampai anaknya bisa merawat Mbak Ti saat tua.
mampi bacabaca..
BalasHapussalam kenal yah
dari karanganyar solo nih
@mampir
BalasHapus