Kamis, 11 Desember 2008

Ketergantungan Indonesia Terhadap Tegnologi Pertanian Luar Negeri

Ketergantungan Indonesia Terhadap Tegnologi Pertanian Luar Negeri

Salah satu bentuk ketergantungan yang diuraikan oleh Dos Santos adalah ketergantungan teknologis industrial. Ini adalah bentuk ketergantungan baru. Kegiatan ekonomi di negara pinggiran tidak lagi berupa ekspor bahan mentah untuk keperluan industri di negara pusat. Perusahaan-perusahaan multinasional dari negara pusat mulai menanamkan modalnya dalam kegiatan industri yang produknya ditujukan ke pasar dalam negeri dari negara pinggiran. Meskipun industri ini ada di negara pinggiran, bahkan seringkali dimiliki oleh pengusaha lokal, tetapi teknologinya ada di tangan perusahaan-perusahaan multinasional. Seringkali barang-barang modal berupa mesin industri yang ada tidak dijual sebagai komoditi, melainkan disewakan melalui perjanjian paten. Dengan demikian, penguasaan terhadap surplus industri dilakukan melalui teknologi industrial.[1]

Teori yang di uraikan oleh Dos Santos tersebut nampaknya sesuai dengan keadaan di Indonesia. Indonesia mengalami ketergantungan teknologi yang akut di bidang Industri. Indonesia adalah negara besar yang sangat berpotensi untuk mengkonsumsi berbagai teknologi.[2] Sayangnya tingginya potensi konsumsi teknologi di Indonesia tidak diikuti degan tingginya penciptaan teknologi di dalam negeri, sebagian besar teknologi yang digunakan datang dari luar negeri. Kondisi demikian menyebabkan timbulnya ketergantungan teknologi Indonesia terhadap teknologi dunia luar.

Secara khusus, dampak ketergantungan terhadap teknologi tersebut tidak hanya bisa dirasakan dalam perkembangan industri dan informasi, tetapi di Indonesia juga mengalami ketergantungan dalam bidang teknologi pertanian yang menghambat peningkatan produksi pertanian di Indonesia.

Indonesia merupakan negara agraris yang hasil pertaniannya menyumbang cukup besar pendatan nasional. Pada tahun 2003 sektor pertanian menyerap 46,3 persen tenaga kerja dari total angkatan kerja, menyumbang 6,9 persen dari total nilai ekspor non migas, dan memberikan kontribusi sebesar 15 persen dari PDB nasional.[3] Namun, pengembangan sektor pertanian di Indonesia banyak mengalami kendala. Salah satunya adalah keterbatasan penggunaan alat-alat teknologi dan sumber daya manusia yang mengoperasikannya. Kendala ini semakin diperparah oleh penggerusan lahan pertanian yang semakin menyempit oleh peningkatan industri manufaktur.

Berdasarkan hasil Sensus Pertanian, jumlah petani dalam kurun waktu 1983-2003 meningkat namun dengan jumlah lahan pertanian menurun, sehingga rata-rata pemilikan lahan per petani menyempit dari 1,30 ha menjadi 0,70 ha per petani. Dengan luasan lahan usahatani seperti ini, meskipun produktivitas per luas lahan tinggi, namun tidak dapat memberikan pendapatan petani yang cukup untuk menghidupi rumah tangga dan pengembangan usaha mereka. Hal ini merupakan tantangan besar dalam rangka mengamankan produksi padi dari dalam negeri untuk mendukung ketahanan pangan nasional dan meningkatkan daya saing komoditas pertanian.[4] Dari realitas tersebut, pengguanaan teknologi pertanian sebenarnya bukan merupakan prioritas pertama bagi petani dan ini marupakan. Bagi petani, prioritas utama adalah peningkatan pendapatan namun mereka cenderung tidak tahu sarana dan instrumen untuk mencapai peningkatan pendapatan dari produk hasil pertanian.

Dari sini, peran teknologi sebenarnya memilki peran yang penting dalam usaha peningkatan hasil pertanian. Teknologi di sini bisa dimaknai secara luas, tidak hanya menyangkut peralatan dan mekanisasi, tetapi juga menyangkut teknologi yang berkaitan dengan cara yang efisien dalam proses bertani. Dimulai dari pemilihan bibit, pengolahan dan perawatan tanaman sampai para teknologi pengolahan produk pertanian.

Indonesia memiliki lahan pertanian yang luas, tetapi belum mampu mengembangkan teknologi untuk meningkatkan pendapatan penduduknya dari hasil pertanian. Dalam hal ini, Indonesia terpaksa melakukan impor untuk barang-barang teknogi pertanian. Teknologi menjadi penting dalam pertanian modern karena sistem bertani tradisional tidak lagi bisa menjamin peningkatan hasil produksi pertanian. Efisiensi dan efektifitas kerja juga bisa dicapai melalui penggunaan teknologi tersebut. Ilustrasi yang paling mudah adalah perbandingan antara efisiensi waktu yang dibutuhkan ketika petani menggunakan mesin traktor dibandingkan dengan penggunaan alat tradisio

nal seperti kerbau untuk mengolah lahan sebelum ditanami.

Selain penggunaan peralatan berbasis teknologi, tata cara pertanian pun memerlukan penggunaan teknologi. Sangat diperlukan adanya teknologi dalam menentukan benih yang tepat yang disesuikan dengan lahan, penggunaan pupuk yang tidak merusak lingkungan dan teknologi dalam perwatan tanaman. Dalam hal ini, Indonesia sebagian besar mengimpor kebutuhan dalam bidang peningkatan hasil pertanian dari luar negeri. Indonesia sebagai negara berkembang belum mampu menghasilkan teknologi sendiri untuk meningkatkan hasil pertaniannya.

Peningkatan nilai tambah produk pertanian melalui proses pengolahan, memerlukan investasi dan teknologi pengolahan yang leboh modern. Kondisi ini diperberat oleh semakin tingginya persaingan produk dari luar negeri, baik yang masuk melalui jalur legal maupun ilegal. Perkembangan dalam tiga tahun terakhir, Indonesia sudah menjadi importir netto untuk komoditas tanaman bahan makanan, beras, jagung dan gula.[5] Ketergantungan ini menimbulkan dampak yang cukup serius bagi Indonesia. Penjualan produk pertanian tidak sebanding dengan biaya impor teknologi untuk meningkatkan hasilnya. Sementara itu, hasil pertanian pun terus mengalami penurunan sampai-sampai Indonesia juga melakukan impor untuk hasil pertanian utama yaitu beras.

Ketergantungan terhadap teknologi pertanian seharusnya bisa mendorong peningkatan produksi teknologi. Meskipun hasilnya tidak bisa langsung dirasakan dalam waktu singkat dan memerlukan proses panjang, paling tidak Indonesia bisa belajar untuk mandiri. Berusaha membebaskan diri dari ketergantungan teknologi negara-negara maju. Kemandirian teknologi pertanian paling tidak bisa mengurangi masalah ketergantunga yang lain seperti ketergantungan modal di Indonesia terhadap lembaga-lembaga donor seperti Bank Dunia dan IMF.

Ketergantungan Teknologi Pertanian dalam Kerangka Perubahan Politik

Perubahan politik bisa dimaknai sebagai perubahan terhadap yang menguasai dan dikuasai. Teori pembagian Kerja Dunia pada dasarnya menyatakan bahwa setiap negara harus melakukan spesialisasi produksi sesuai dengan keuntungan komparatif yang dimilikinya. Negara-negara di khatulistiwa yang tanahnya subur, misalnya, lebih baik melakukan spesialisasi di bidang produksi pertanian. Sedangkan negara-negara di bagian bumi sebelah utara, yang iklimnya tidak cocok untuk usaha pertanian, sebaiknya melakukan kegiatan produksi di bidang industri. Mereka harus mengembangkan teknologi, untuk menciptakan keunggulan komparatif bagi negerinya.[6]

Pembagian kerja secara Internasional tersebut seharusnya bisa menciptakan mekanisme yang seimbang dan saling membutuhkan antara negara industri dan negara pertanian. Namun pada kenyataanya, struktur kekuasaan atas dimiliki negara-negara yang memproduksi barang-barang industri. Mau tidak mau, pemerintah dalam negeri harus menyesuaikan peraturan dan kebijakannya dengan kebutuhan masyarakat untuk mengkonsumsi teknologi dari luar.

Hal ini sesuai dengan uraian Prebish bahwa terdapat penurunan nilai tukar dari komoditi pertanian terhadap komoditi barang industri (dalam hal ini terknologi di bidang pertanian). Barang-barang industri semakin mahal dibandingkan dengan barang-barang pertanian. Akibatnya, terjadi defisit pada neraca perdagangan negara-negara pertanian bila mereka berdagang dengan negara-negara industri. Dan defisit ini makin lama makin besar.

Dilanjutkan oleh Hukum Engels yang menguraikan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh negara-negara penghasil teknogi sering kali membuat mereka melakukan proteksi terhadap hasil pertanian mereka sendiri, sehingga sulit bagi negara pertanian untuk mengekspornya ke sana. Ini memperkecil jumlah ekspor negara pinggiran ke pusat. Penemuan teknologi baru yang bisa membuat bahan-bahan sintetis juga memperkecil jumlah ekspor dari negara-negara pinggiran ke negara-negara pusat.[7] Demikian halnya dengan Indonesia. Ketergantungan terhadap barang-barang teknologi pertanian yang tidak bisa diproduksi sendiri tidak diiringi dengan peningkatan ekspor hasil pertanian sehingga Indonesia semakin sulit untuk bangkit dan melepaskan diri dari lingkaran ketergantunga terhadap negara asing.




[1] Budiman, Arif. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2000. hal 70

[2] Penyebab Ketergantungan Indonesia terhadap teknologi negara luar. dalam http://muhammadsoleh.blogspot.com/2007/11/penyebab-tingginya-ketergantungan.html

[4] ibid

[5] ibid

[6] Budiman, Arif. Op.cit hal 16.

[7] Ibid hal 46-47.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar