Rabu, 10 Desember 2008

pertemuan dengan para pengarang

Pertemuan dengan Para Pengarang


“Jika kita tak percaya lagi akan apapun, jika segala sesuatu tidak punya makna,

dan jika kita tidak menerima sistem nilai apapun,

maka segala sesuatu dapat terjadi dan tidak ada lagi yang bermakna”

(Albert Camus)



Auditorium FIB, 10 Februari 2008

Catatan Sederhana

Sebuah kesempatan mempertemukan saya dengan para pengarang ini. Mereka yang saya kenal dan tak mengenal saya sama sekali. Kita dipertemukan dalam workshop penulisan kreatif bersana Arswendo Atmowoloto dan Ayu Utami.

Mengapa orang perlu menulis? Dan mengapa perlu ada workshop penulisan semacam ini? Sebenarnya ini bukanlah sebuah workshop karena tak bisa menjamin orang akan menjadi penulis dengan cara instan. Workshop ini lebih merupakan dialog antara para penulis dan mereka yang ingin menjadi penulis. Jadi mohon maaf kalau tulisan ini tidak mengalir dan akan terkesan meloncat-loncat hingga anda tak nyaman membacanya. Pertemuan ini hanya sebagai sarana untuk merangsang orang agar mau menulis. Tapi mengapa juga kemauan menulis harus dirangsang? Seberapa pentingkah? Kita akan berjalan bersama para pengarang ini untuk memuaskan nafsu keingintahuan tentang dunia kepenulisan.

***

Sebagaimana buku yang telah ditulisnya beberapa tahun lalu, Arswendo selalu mengatakan bahwa mengarang itu gampang. Yang menjadi persoalannya kemudian adalah bagaimana membiasakan menulis. Menjadikan menulis sebagai suatu kebiasaan yang akan menimbulkan penyesalan bila ditinggalkan meskipun hanya sehari. Menulis membutuhkan kreatifitas mengolah ide menjadi sebuah tulisan. Kreatifitas untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berusaha untuk memperbaharui sesuatu yang lama, atau bahkan meng-ada-kan sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Namun kata Arswendo, “ yang lebih penting adalah apa yang berada di balik tulisan.”

“Ya, Ayu ini memang hebat sekali. Seorang penulis muda yang sangat berbakat, berani dalam ide dan permainan bahasa. Kalau seorang Ayu saja sudah hebat begini, apalagi saya..he..he..” begitu kata Arswendo sambil senyum-senyum.

Mengawali pembicaraannya, Ayu berbicara tentang model kait. Sejak tadi, Arswendo terkesan merendahkan dirinya sebagai pengarang yang lebih senior dibandingkan dengan Ayu Utami. Sebenarnya ini menjadi semacam strategi dimana seseorang akan merendahkan diri dulu untuk kemudian mengangkat dirinya dengan cara mengangkat orang lain.

Kemudian, Ayu menjelaskan tentang kesamaan antara menulis dan berpikir. Berbahasa juga disamakan dengan berpikir. Lalu ia banyak bicara tentang teori kosmo yang tidak begitu saya pahami. Sebenarnya mengarang itu memang gampang, tapi ini bagi mereka yang terberkati. Jadi menulis itu sedikit banyak juga dipengaruhi oleh bakat yang melekat pada sebagian orang. Belajar menulis dengan cara apapun apabila tidak mempunyai bakat maka ia tidak akan menjadi penulis besar meskipun masih ada kemungkinan untuk mengasah bakat tersebut. Kadang banyak orang yang tidak tahu kalau sebenarnya ia mempunyai bakat menulis. Sebaliknya, yang tidak mempunyai bakat pun jangan sampai berkecil hati karena bakat hanya menjadi sekian persen dari bagian kesuksesan penulis. Kerja keras dan kreatifitas tetap menjadi bagian terpenting dalam mencapai kesuksesan sebagai penulis.

Selanjutnya, Ayu memaparkan tentang bagaimana cara gampang menulis. Sebuah pemikiran dalam sistem otak kita merupakan bagian yang sangat luas cakupannya dan bersifat kompleks. Di dalam sebuah pemikiran, terdapat bagian yang universal, partikular dan singular. Bagian tersebut terdiri dari bagian yang sangat luas, lebih sempit dan bagian yang bersifat tunggal. Tugas seorang penulis sebenarnya adalah menjembatani antara bagian-bagian tersebut. Menjembatani bukan berarti bahwa ketiganya berdiri secara terpisah-pisah dalam sebuah tulisan. Ketiga hal tersebut bisa saling berhubungan dan tidak terpisahkan antara satu dengan lainnya. Sebut saja tetraloginya Pram. Tokoh Minke merupakan sebuah pribadi yang bersifat singular, tapi ia juga bisa mewakili hal yang bersifat partikular seperi hubungannya dengan keluarga Nyai Ontosoroh. Demikian halnya dengan Musim Gugur di Connecticut karya Umar Kayam yang bercerita tentang dua tokoh suami istri. Sebagai bagian yang singular, mereka membicarakan persoalan-persolan yang lebih luas cakupannya dari mereka.

Proses menghubungkan antara yang universal, partikular dan singular bisa disebut dengan silogisme. Misalnya:

Premis Umum : Semua anak laki-laki suka masturbasi. Asumsi subyek dalam kalimat ini bersifat umum tapi realitasnya belum tentu benar. Premis Khusus : Rizky anak laki-laki. Maka kesimpulannya, Rizky suka masturbasi. Permasalahan dalam silogisme tersebut terkait dengan bagaimana mempertanggung jawabkan tulisan kita. Kesimpulan yang kita dapatkan kadang hanya bersifat sebagai asumsi. Tidak semua hal bisa digeneralkan begitu saja. Inilah yang menjadi tugas berat bagi seorang penulis dimana ia diharuskan untuk bisa mempertanggung jawabkan setiap kalimat yang ia tuliskan.

Bagi penulis pemula, teori-teori semacam ini lebih baik disingkirkan saja. “Tidak usah memikirkan teori, langsung saja mulai!” begitu katanya memberi semangat kepada kami. Mulai menulis dengan mencari ide setiap hari. Ide bisa dari manapun, misalnya dengan membaca koran setiap hari. Bagi seseorang yang mempunyai sense menulis, ide-ide yang terkesan biasa bagi orang lain bisa menjadi ide yang luar bisa ketika bisa dituangkan dan diramu dalam tulisan. Hanya saja hal ini sangat tergantung dari minat yang terus menerus dan kerja keras sepanjang masa.

Beberapa pertanyaan dari peserta workshop kebanyakan hanya berkutat pada hal yang itu-itu saja. Misalnya tentang bagaimana menemukan ide. Hal ini sebenarnya sangat gampang dilakukan. Sebuah pertanyaan tentang “Mengapa saya mau jadi pacarnya?” sudah bisa menjadi modal untuk membuat cerita. Selain itu, bisa juga dilakukan dengan membuat istilah-istilah baru. Sebagai orang Indonesia, pasti kita sangat gerah ketika tempe sebagai makanan asli orang Indonesia justru dipatenkan negara lain. Menarik kiranya ketika menulis hal tersebut dengan penggunaan terminologi baru seperti “tempeologi”.

Kiat untuk menjaga mood juga disampaikan dalam kesempatan ini. Banyak cara yang bisa digunakan untuk tetap menjaga mood seperti ‘ngelamun’. Mood juga sangat dipengaruhi oleh latar belakang pribadi, sikap, pandangan hidup, dan lain sebagainya. Sehingga mood ini memang mempengaruhi penulisan tapi jangan sampai kita dikendalikan olah mood. Kitalah yang seharusnya bisa mengendalikan mood kita sendiri.

Bagi yang tulisannya tidak dimuat-muat dalam media, kiatnya adalah: “Coba anda ganti nama seperti halnya Sarwendo yang bisa menjadi terkenal setelah mengubah namanya menjadi Arswendo. Penulis pemula yang kesulitan menemukan gaya, bisa mencoba untuk mempelajari gaya orang lain sampai pada batasan tertentu. Gaya itu bisa digunakan sesuai kebutuhan lalu temukan gayamu sendiri.”

Diskusi mulai seru ketika muncul pertanyaan mengapa Ayu dalam tulisannya hampir semua mencoba mengeksploitasi tubuh perempuan. Sayang sekali saya juga belum membaca Saman atau Larung yang fenomenal itu. Konon kabarnya, novel atau tulisan-tulisan Ayu sangat vulgar dalam penceritaan tentang tubuh, seks dan segala yang berkaitan dengan hal itu. Pantas saja kalau tulisan-tulisannya kemudian banyak menuai protes dari penulis yang setia kepada nilai-nilai seperti Taufik Ismail.

Bentuk-bentuk ide, cerita dan pemikiran Ayu ternyata sangat dipengaruhi oleh buku-buku yang ia baca. Dan entah kebetulan atau apa, buku-buku itu banyak membahas tentang seks. Mengapa perempuan? Pengaruh agama Khatolik yang kuat pada diri Ayu juga ikut mempengaruhi gaya kepenulisannya. Sejak kecil ia berada di lingkungan Khatolik yang taat. Tekanan agama tentang seks inilah yang membuat Ayu justru semakin terobsesi. Kitab-kitab Khatolik banyak memberikan pemahaman tentang perempuan dimana tubuh perempuan dianggap menjadi sumber dosa.

Latar belakang Ayu kemudian membuat novelnya bermain disekitar unsur Tuhan, Agama, kegilaan dan irasionalitas. Banyak tulisannya yang keluar dari norma dan batasan-batasan seorang perempuan di dunia nyata. Ayu bisa dikatakan sebagai seorang penulis perempuan yang radikal. Novelnya banyak berisi tokoh perempuan yang menelanjangi dirinya sendiri. Menurutnya, ini bukan sesuatu yang buruk atau tabu tapi perempuanlah yang akan melepaskan dirinya sendiri dari keterkungkungannya selama ini—dalam batasannya sebagai perempuan. Lebih baik menelanjangi dirinya sendiri daripada ditelanjangi orang lain yang belum tentu mengerti tentang perempuan. Perempuanlah yang akan menentukan caranya sendiri.

Proses menelanjangi diri sendiri menjadi semcam transgresi dimana dalam dunia nyata, memang banyak tokoh besar yang lahir dari terobosan terhadap hukum, bukan lahir dari tatanan yang stabil. Progresifitas justru akan lahir dari ketidakstabilan-ketidakstabilan yang diciptakannya sendiri. Manusia telah diajarkan untuk membangun nilai-nilai semenjak kanak-kanak dan ketika telah dewasa, sudah sewajarnya apabila manusia mempertanyakan nilai-nilai itu.

Nilai-nilai menjadi batasan utama dalam kepenulisan. Demikian juga Ayu, yang sebenarnya memiliki batasan tersendiri dalam tulisannya. Setiap penulis memiliki batas-batas tersendiri. Baik itu yang berasal dari dalam diri, lingkungan terkecil, batas politis, batas komersial dan sebagainya. Penulislah yang menentukan batas-batas tersebut. Dengan nilai-nilai yang mendasari pemikirannya, seorang penulis bisa menentukan apakah ia akan menulis sebagai dirinya sendiri atau keluar dari dirinya sendiri untuk melihat persoalan yang lebih luas.

Salah satu ibu guru SMA perserta workshop kemudian bertanya kepada Ayu, “Apakah sebagai penulis Mbak Ayu memiliki tanggung jawab sosial? Saya merasa cemas ketika novel-novel Anda dibaca oleh anak didik saya. Bahasa novel Anda yang vulgar sebenarnya tidak cocok bagi mereka, apalagi anak-anak seusia mereka memiliki imajinasi yang luar biasa terhadap apa yang dibacanya.”

Jawaban Ayu terkesan mudah saja. Ia juga memiliki tanggung jawab sosial, yaitu agar perempuan bisa menjadi subyek atas dirinya sendiri. Melalui novel-novelnya, Ayu ingin menyampaikan bahwa perempuan seharusnya sadar bahwa sudah saatnya ia idak lagi menjadi obyek atas keadaan, laki-laki, nilai-nilai, sistem dan segala sesuatu yang membatasi perempuan. Novel-novel Ayu justru semakin membuka ruang lebar bagi diskusi sastra antara guru dan murid untuk tidak hanya memahami karya sastra sebagai teks, tapi lebih pada pemaknaannya berdasarkan konteks. Dalam novelnya, Ayu juga tida melulu berbicara tentang seks, ada muatan sejarah yang ingin dibawanya. Sejarah yang tak terceritakan dalam buku-buku teks di sekolah. Sejarah yang sebenarnya terjadi namun tak diungkapkan oleh kuasa.

Berbicara tentang pertentangan antara penulis yang setia pada nilai dan penulis yang radikal seperti dirinya, Ayu berharap agar perbedaan antara mereka tidak dijadikan persoalan. Ayu mengungkapkan pula bahwa ia tidak menyukai cara mereka yang setia kepada nilai dengan memberi stigma terhadap orang lain yang mereka tidak suka.

Setelah mendengar jawaban-jawaban Ayu, memang orang sebenarnya tidak berhak memberi stigma kepada orang lain. Apalagi hanya dengan alasan moral atau agama. Seni itu merdeka. Ia punya jalannya sendiri-sendiri.

***

Oleh-oleh apa yang bisa dibawa pulang dari pertemuan dengan para pengarang ini? Menulis itu dibilang gampang ya memang gampang, tapi sebenarnya tidak gampang. Dibilang susah ya memang susah, tapi sebenarnya tidak susah. Penulis perempuan seperti Ayu Utami ini terkesan penulis perempuan yang nakal dalam arti positif. Lihat saja contoh kata yang digunakannya, belum apa-apa sudah bicara tentang masturbasi. Saya bisa pulang dengan membawa kesan.

Baik Ayu maupun Arswendo bisa dikatakan sebagai penulis-penulis yang mapan. Mereka bisa hidup dari ide dan tulisan. Lalu, bagaimana penulis pemula bisa menjadi penulis yang mapan? Haruskah kami menggeser kemapanan mereka atau haruskah kami membabat hutan dan membuka ruang baru dalam dunia kepenulisan? Rasanya, kami tak cukup punya energi untuk itu, meskipun kami yakin, kami bisa melakukannya.

Setiap penulis memang mempunyai nilai-nilai tersendiri untuk diperjuangkan. Ada yang menulis untuk perempuan, ada yang menulis untuk rakyat kecil, ada yang menulis untuk keindahan alam, ada yang menulis untuk berbagi perasaan, ada yang menulis untuk agama dan perbaikan moral bangsa, ada yang menulis tidak untuk apapun, dan banyak lagi. Tidak penting untuk apa dan bagaimana mereka menulis karena esensi sastra adalah kebebasan untuk menuliskan apapun. Mereka yang menulis boleh saja memenangkan suatu nilai-nilai. Tapi kalau saya, hanya menulis karena sekadar suka.

Bedah Buku Teman-Temanku dari Atap Bahasa

Mencari Titik Temu Sajak-Sajak Chairil Anwar dan Afrizal Malna


Auditorium FIB, 30 April 2008

Kami selalu tak pernah ketinggalan apabila ada diskusi sastra atau seminar gratis. Demikian juga dengan hari ini. Kuliah kebetulan kosong, dosennya sedang tak berada di Yogyakarta. Keinginanku yang besar terhadap sastra tampaknya dimengerti oleh kedua orang temanku. Meskipun tak begitu paham, mereka mau mengantarku ke Auditorium FIB. Terima kasih sebelumnya untuk kalian berdua.

Diskusi sastra dalam kesempatan ini akan membandingkan puisi-puisi Afrizal Malna dengan sajak-sajak Chairil Anwar. Kedua pembicara merupakan akademisi dan seorang penyair bernama Zamzam. Keduanya akan melakukan perbandingan dengan perspektif yang berbeda. Mereka akan melakukan perbandingan dengan perspektif obyektif dan prakmatik fenomenologis.

Tak perlu banyak basa-basi lagi. Langsung saja ya..

Secara obyektif, sajal-sajak Afrizal Malna merupakan percobaan untuk menemukan kiasan-kiasan baru menjadi bentuk dan makna yang sangat berbeda. Obyektifikasi dapat dilakukan dengan melakukan identifikasi terhadap karakteristik sajak-sajak Malna. Pembicara pertama ini banyak mengulas tentang gaya penulisan, tipografi sajak, kosa kata yang digunakan, bahasa kiasan, penggunaan kombinasi antara angka dan kata, aspek ketatabahasaan, gaya bahasa dan tema. Titik temu antara Malna dan Chairil Anwar sedikit banyak terletak pada aspek-aspek tersebut meskipun keduanya tetap menunjukkan adanya perbedaan dalam penggunaan dan kombinasi kata.

Intinya, sajak-sajak Malna menunjukkan bahwa ia berhasil memperkaya rasa dan isi bahasa Indonesia dengan kombinasi-kombinasi baru kata-kata sehari-hari, yang terasa dinamis dan asosiatif. Sajak-sajak dalam Teman-Temanku dari Atap Bahasa (TTAB) tersusun dari instalasi kata-kata dan mozaik gambaran-gambaran yang tidak harus bersifat linear. Sajak-sajak dalam TTAB memiliki kekuatan untuk menghubungkan berbagai ingatan mengenai pengalaman-pengalaman pembaca ke dalam bentukan semantik tertentu. Dalam sajak-sajak tersebut dapat ditemukan sekian banyak referensi yang berhamburan, meloncat-loncat, dan datangnya tidak bersamaan secara serempak dan hal ini menyebabkan pembaca terdorong untuk terus-menerus mencari referensi dan makna lain yang mungkin ada dalam sajak-sajak itu. Pembaca akan terus berupaya menemukan makna baru dengan “beratap bahasa”.1

Secara prakmatik fenomenologis, sajak-sajak Chairil Anwar dan Afrizal Malna sama-sama menolak teknik penglihatan fasis dimana ketika menggunakan teknik ini, maka hanya ada satu tatapan terhadap obyek. Chairil Anwar menolak hal ini sebagaimana ia menolak fasisme Soekarno, Orba, atau fasisme media yang melakukan pemujaan terhadap seseorang. Fasisme sebagai sebuah teknik penulisan juga mengandaikan adanya ketertiban dan komando. Sajak-sajak Malna mencoba keluar dari fasisime tersebut. Ia menjadi seseorang yang berjalan tanpa tujuan namun tidak mau terjebak dan terperangkap oleh satu pusat tertentu. Sajak-sajak Malna lebih menggunakan teknik montase. Ia menggunakan dua kata yang tidak berhubungan untuk disejajarkan. Chairil menggunakan teknik ini secara lebih linear sedangkan Malna menggunakannya secara radikal.

Perbedaan antara Chairil dan Malna juga terdapat pada keterpisahan antara subyek yang melihat dengan tulisannya. Chairil lebih cenderung pada “aku melihat sesuatu” sebagaimana warisan Kartesian yang menggambarkan adanya keterpisahan. Malna dalam hal ini tidak memperlihatkan adanya penglihatan yang terperangkap di antara benada-benda. Obyek dalam sajak-sajaknya bisa berbalik atau berdialog dengan subyek. Kecenderungan ini terlihat dari salah satu kalimat dalam sajaknya, “berada dalam malam-malam tatapan”. Kalimat ini terasa bahwa ada obyek yang melihat subyeknya.

Sajak-sajak Chairil Anwar dan Afrizal Malna juga memperlihatkan adanya ketegangan antara tradisi dan pembaharuan. Malna mengkombinasikan kata-kata untuk membuat hal yang baru. Ia juga menggunkan kata-kata sehari-hari sebagai metode efektif dalam penyampaian.

Salah seorang peserta bertanya tentang bentuk alforisma dalam sajak-sajak Malna. Apa itu alforisma, saya juga kurang tahu. Yang saya tangkap, alforisma adalah gaya bahasa prosa dalam puisi. Dalam hal ini, Malna juga tidak menggunakan bentuk tersebut sepenuhnya melainkan ia melakukan kombinasi antara gaya prosa dan puisi.

Untuk memahami puisi Malna, entah apapun perdebatan dan teorinya, bagi Zamzam puisi bukan untuk dipelajari melainkan sebagai alat untuk melihat sesuatu. Meskipun kita selalu berjalan ke depan, tapi jangan lupa untuk selalu belajar dari belakang. Dalam perspektif prakmatik fenomenologis, memang tidak penting lagi mana masa lalu mana masa depan. Puisi seperti terbang ke depan dengan kepala menegok ke belakang. Understand, mean in sense memahami dalam arti mengerti secara keseluruhan. Pemahaman dapat dicapai salah satunya dengan membongkar puisi untuk menemukan kode-kodenya. Hal ini membutuhkan sense of experience. Kata-kata tidak dilihat sebagai representasi dari sesuatu secara langsung. Kata-kata tidak hanya dipahami secara gramatikal tetapi lebih pada pencarian makna dengan menemukan kode-kode tertentu.

***

Semua pembicara telah mengungkapkan perspektif dalam studi komparatifnya. Waktu diserahkan sepenuhnya kepada Malna.

Pesan saya, jangan pernah membayangkan orang yang belum pernah anda lihat dari namanya. Karena yang dibayangkan tak akan pernah sama. Afrizal Malna, terkesan nama seorang yang alim, sopan, penyair liris dan sebagainya. Tetapi yang saya lihat ternyata sama sekali berbeda dengan apa yang saya bayangkan sebelumnya. Malna orangnya kecil, kepalanya plontos dan berbicara dengan suara berat. Kalau didengarkan lebih jauh, nada bicaranya aneh, seperti orang Bule berbicara dengan Bahasa Indonesia yang baru dipelajarinya. Ia berpenampilan sederhana. Hanya bercelana panjang berwarna krem dan kaus hitam berlengan panjang yang sudah agak kusam. Ujung hidungnya sedikit besar terlihat panjang ke depan. Dari bibirnya yang hitam, mungkin Malna adalah seorang perokok. Titik temu dengan Chairil yang sama-sama suka merokok. Itupun saya hanya tahu dari posternya atau sampul buku “Aku”.

Setelah hasil karyanya banyak dikomparasi, Malna mulai bicara.

Dulu, Malna menganggap puisi sebagai sebuah fenomena bahasa. Dalam puisi, penyair bisa berganti-ganti peran sebagai orang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Penyair akan terus bermain-main seperti kanak-kanak bermain dengan hujan dalam bahasa. Ia berbicara dengan tenang lalu mulai mengungkapkan kegelisahannya.

Malna gelisah dengan mempertanyakan, “Mengapa bahasa menjadi bahasa negara? Kita hidup dalam masyarakat primordial yang lebih memenangkan nilai-nilai daripada sejarah. Kita tidak hidup dalam masyarakat sejarah sehingga kita menjadi seragam. Saya berusaha unutk outstanding dari penyeragaman itu. Lebih nyaman rasanya menjadi anak-anak karena menjadi dewasa merupakan hal yang menakutkan.”

Kalau boleh dikatakan, Malna adalah seorang penyair radikal. Malna melihat bahwa seluruh masyarakat telah menjadi korban inteorisasi dari negara yang selalu berujung pada penyeragaman. Untuk itulah ia tidak menyukai segala hal yang berbau penyeragaman. Mengapa sebagai manusia yang bebas kita harus mengikatkan diri pada ikatan-ikatan primordial. Malna tidak suka berkumpul atau berkenalan dengan saudara-saudaranya, menyalami mereka sebagaimana adat kebiasan. Bahkan yang lebih ekstrem, saat orang tua Malna meninggal dunia, sampai sekarang ia tak tahu dimana kubur mereka.

Masyarakat sekarang tak sadar bahwa mereka telah menjadi korban fasisme negara. Parahnya, fasisme di Indonesia adalah fasisme bodoh, tidak tahu kalau kita ini sudah jadi fasis. Sekalian saja fasisme sebagaimana Hittler. Malna merasa tidak menjadi bagian dari puisi Indonesia karena ia tidak berpikir dengan kata tetapi dengan mata, dengan gambar. Karena sekali lagi, kata-kata dan bahasa telah menjadi milik negara.

Akibat fasisme itu, kita tak lagi mengenal budaya halaman belakang yang bersifat informal. Tempat dimana seluruh keluarga bisa bersantai dan mencurahkan segala isi hati mereka. Halaman belakang saat ini hanya dipakai sebagai gudang bukan ruang untuk mengungkapkan hal yang tersembunyi. Masyarakat hanya mengenal halaman depan yang selalu berjalan di atas formalitas, halaman depan yang ditata apik untuk menyambut para tamu yang datang.

“Saya sangat menyukai salah satu sajak Chairil, ‘Aku bercermin bukan untuk ke pesta.’ Dalam potongan sajak itu, terdapat semacam konstruksi budaya. Bercermin bukan untuk ke pesta.” Malna melanjutkan, “Saya tidak ada urusan dengan semua, saya berpuisi hanya karena saya suka. Saya juga tidak bernafsu untuk menafsirkan sebagaimana potongan sajak seorang penyair perempuan, ‘api membakar ujung lidahku sampai aku kesulitan untuk memadamkannya.’ Saya tidak menfsirkan sajak-sajak itu, saya hanya menyukainya.”

“Puisi itu hidup, mengantarkan pada dunia-dunia. Tetapi pertemuan berbagai media mengubah sudut pandang kita. Kita ini sebagai pelaku, bukan obyek, bukan hanya sekadar membeli kata-kata. Saya juga takut untuk menilai sebuah generasi. Munculnya komunitas-komunitas sastra justru mendorong inteorisasi. Dengan demikian akan terjadi penyeragaman lagi melalui teori-teori dalam membuat puisi.”

Di akhir acara, Malna tak membacakan puisi seperti yang diharapkan panitia, ia memutar video pendek yang cukup menghipnotis.

Malna berdiri dengan siluet tubuhnya yang berwarna keperakan. Tubuhnya dikerubuti kupu-kupu, lalu hadir silut-siluet gambar lain. Yang menyikat gigi, yang memperdengarkan deru buldozer, yang memperlihatkan tumbangnya miniatur seorang berpakaian militer, dan sebagainya. Siluet Malna terlihat ketika ia memegang kedua telingannya dengan kedua tangannya, lalu membungkuk-bungkuk dengan irama sambil berkata-kata, berpuisi, dan menghipnotis kami semua dengan suara seperti dengung serangga yang terdengar berat, seperti suara Malna.

………………………

orang-orang terbaring dalam dirinya sendiri

orang-orang terbaring dalam pikirannya sendiri

……………………..

hanya hidup membaca dirinya sendiri

seperti anak-anak membaca

seperti anak-anak bertanya

…………………….

Membaca jadi mengapa membaca

Menulis jadi mengapa menulis

……………………………

ingin jadi manusia, terbakar dalam sendiri

……………….

Sehari. Aku bermimpi jadi manusia

………….

Seperti inilah kira-kira potongan sajak yang sempat saya catat dalam pemutaran video itu.

Orang-orang seperti Malna memang diperlukan di negeri ini. Tapi saya tak bisa membayangkan seandainya semua orang menjadi radikal seperti Malna. Paling tidak, ia menjadi seorang inspirator bagi saya. Karya sastra memang tidak melulu harus sama. Perlu ada yang nyleneh seperti karya-karya Malna.

Saat acara berakhir adalah saat yang sangat ditunggu bagi kedua teman saya. Sebelum memasuki ruangan, kita dibagiakan kupon dengan nomor undian. Hadiahnya lumayan juga, ada voucher untuk diskon buku terbitan lafadz, juga kaos menarik. Nomor undian kami 90, 91 dan 92. Kami menunggu. Sedikit berdebar, padahan Cuma kayak gitu. Salah satu temanku berkata, “Jangan-jangan yang keluar malah nomor 93.” Eh, ternyata benar. Undian yang keluar dan dapat sebuah kaos adalah nomor 93. maka, hati-hatilah dengan ucapanmu. Ada yang sengaja selalu mencatatnya dibelakangmu. Yang cuma guyon ternyata bisa jadi kenyataan.

Mungkin itulah kesan dari kedua temanku. Dari tadi mereka berbicara tentang hal lain dan tak mendengar Malna. Kecuali, saat terpukau melihat video itu. Para seniman ini, bagaimana aku bisa menjadi.


Menulis Novel Ethnografi


Kedai Kopi-Kopi, 10 Mei 2008

Mengayuh sepeda. Pada sebuah sore suam-suam kuku. Apakah yang akan dikatakan oleh meraka?

Kesempatan kali ini akan mempertemukan saya dengan dua orang pengarang yang berasal dari latar belakang berbeda. Kris Budiman adalah seorang akademisi yang menggeluti bidang ethnografi dan memulai karir kepenulisannya. Sedangkan Putu Fajar Arcana adalah seorang pengarang yang karya-karyanya kental dengan nuansa ethnografi.

Udara cukup cerah sore itu. Sebuah obrolan santai akan diadakan di sebuah kedai kopi di Jalan Kartini no. 14A, Sagan, Yogyakarta. Obrolan santai kali ini akan membahas tentang menulis novel ethnografi dengan dua pembicara yaitu Kris Budiman dan Putu Fajar Arcana. Susananya cukup santai. Di bawah pohon di depan kedai ditata kursi-kursi yang membentuk setengah lingkaran dengan pembicara berada di bagian tengah dan agak ke depan. Menikmati kopi sambil ngobrol tentang menulis ethnografi. Para pengunjung lumayan banyak hingga tempat yang telah disediakan tak cukup menampung. Namun, minat yang kuat pada dunia kepenulisan mengalahkan segalanya sehingga para pengunjung ini rela duduk dimana saja. Meskipun harus lesehan dan duduk di atas rumput.

Obrolan sore itu dimulai dengan paparan dari Kris Budiman.

Ethnografi bisa dimengerti dalam dua aspek yaitu: Sebuah metode penelitian yang khas anthropologi dengan participant observation (teknik pengamatan terlibat). Sebagai metode penelitian, maka produknya bersifat analitis. Dan yang kedua adalah sebagai produk dari kerja anthropolog, yaitu sebagai sebuah tulisan. Sebagai sebuah tulisan, ethnografi di sini bisa bersifat naratif sehingga mutlak harus melibatkan instrumen kesastraan tertentu. Peralatan literer sangat diperlikan dalam membangun karakter dan mengembangkan plot. Karya ethnografi ini kemudian menjadi enak dibaca seperti membaca cerita (anthropologi naratif).

Dari sudut pandang ilmu sastra, novel ethnografi nyaris tidak dikenal atau bisa dikatakan marginal. Hampair tidak ada jejaknya di Indonesia. Novel-novel yang ada seperti Upacara karya Corrie Layun Rampan masih diperdebatkan apakah bisa dimasukkan dalam kategori novel ethnografi atau tidak. Dalam kriteria Marcus dan Fischer, ethnografi adalah menulis tentang the other (kebudayaan lian). Penulis berada di dalam suatu kebudayaan sebagai partisipan dan dilakukan dengan kesadaran anthropologi. Penulis memilki kesadaran untuk menjaga jarak dengan obyek yang ditulisnya. Sedangkan ketika native menulis kebudayaannya sendiri seperti yang dilakukan Corrie akan benyak menimbulkan permasalahan terutama yang terkait dengan epistemologis. Dengan demikian, novel yang berwarna lokal (local colour) belum tentu bisa dikategorikan sebagai novel ethnografi. Berbeda dengan Umar Kayam dengan Para Priyayi-nya. Sebagai sebuah novel dengan warna lokal, novel ini bisa dikatakan mempunyai kualitas ethnografi. Pengarangnya memilki kualifikasi tertentu sebagai ilmuwan sosial yang sedikit banyak punya sense keilmuwan. Beberapa nama lain yang sering dikaitkan dengan novel ethnografi adalah Romo Mangun, Dewi Linggarsari, Yunus Melalatoa, dan Jefrey Al Katiri yang banyak melakukan studi sejarah dalam situasi-situasi yang sinkronis.

(maaf sebelumnya kalau saya salah menuliskan nama. Informasi ini saya dapatkan hanya dari pendengaran saya yang tidak bisa dijamin kebenarannya dan saya malas juga mencari informasi yang lebih bisa dipercaya).

Titik tekan dalam penelitian ethnografi adalah adanya kesadaran pengarangnya sebagai seorang ethnografer. Tobias Hect dalam penelitiannya tentang anak jalanan banyak menimbulkan dilema dan kebingungan meskipun telah mempunyai kesadaran sebagai peneliti. Kebingunan tersebut berasal dari obyek penelitiannya yang ternyata tidak dapat menceritakan seratus persen kebenaran dalam kehidupan mereka. Sebagian besar cerita mereka adalah fiksi mereka sendiri. Sebuah pengandaian subyektif terhadap kehidupan sehingga penelitian yang demikian dapat dikelompok dalam kategori fiksi ethnografis.

Satu contoh penelitian Tobias di atas sebenarnya menggambarkan bahwa selama ini sebagian besar dari kita telah terjebak dalam suatu stereotype tentang ethnografi. Pemaknaan ini sudah seharusnya direvisi. Ethnografi sekali lagi merupakan tulisan tentang the other ways of life, dalam arti di luar self. Kesadaran tentang otherness inilah yang diperlukan. Jadi tulisan ethnografi sebenarnya tidak melulu tentang suku-suku bangsa yang eksotis. Persoalan yang muncul kemudian adalah adanya the familiarisasi bahwa ethnografi akan diidentikkan dengan karangan tentang suatu adat istiadat suku bangsa tertentu.

Obrolan ini dilanjutkan dengan paparan dari Putu Fajar Arcana.

Putu adalah seorang Bali yang banyak menulis juga tentang Bali. Pemaparannya masuk kepada contoh-contoh karena sebagai pengarang, tentu saja ia hanya hirau tentang kepengarangannya. Masalah apakah tulisannya akan masuk kategori tulisan mana, itu bukan lagi menjadi urusannya, tapi urusan para kritikus sastra atau komentator dan penikmat tulisannya.

Putu mencotohkan tiga bentuk tulisan yang berbeda. Yang pertama adalah cerpennya yang menceritakan adat-istiadat Bali yang melarang menerima mayat orang lain di luar kelompoknya. Cerpen ini berjudul ‘Dari Lubang Makam’. Sebuah cerita yang menggambarkan tentang mayat seorang mati yang tak bisa dikuburkan karena adat banjar tersebut.

Contoh yang kedua adalah sebuah karya jurnalistik yang menggambarkan suasana kota Paris. Putu sedang berdiri di atas sebuah jembatan dan teringat sebaris kalimat dalam puisi yang saya tidak tahu pengarangnya. “Kegembiraan selalu datang sehabis derita”. Hal ini dituangkannya dalam sebuah catatan perjalanan yang dikategorikan dalam genre karya jurnalistik.

Dan contohnya yang ketiga adalah tentang penelitian seorang Anthropolog. Ia datang pada tahun 1958 di Bali. Anthropolog tersebut memposisikan dirinya sebagai penonton. Seorang manusia yang tidak kelihatan dan melebur dalam masyarakat namun ia tetap menjadi seorang penonton. Beberapa bentuk karya semacam ini bisa dijumpai dalam penggalan penelitian Clifford Gertz.

Ketiga contoh di atas sama-sama berangkat dari fakta. Kemudian pertanyaannya adalah apa yang membedakan antara ketiganya? Tidak begitu jelas memang, mungkin juga yang membedakannya hanyalah dimana karya itu dimuat. Ketika cerpen buatan Putu di muat di jurnal Anthtropologi, maka ia bisa dikatakan menjadi sebuah bentuk karya ethnografi yang ilmiah.

Kris Budiman kemudian membalik kembali perspektif kita tentang ethnografi. Bahwa sebenarnya memang tidak ada suatu kategori yang mutlak dalam karya sastra. Hal ini bersifat sangat kasuistik. Sebagai seorang pengarang, “emang gue pikirin” teori-teori sastra karena tugas pengarang hanya menulis sebagai bentuk pertanggungjawaban. Pengarang hanya menulis sebagai bentuk kepedulian terhadap pargulatan batin dan realitas yang terjadi di sekitarnya. “Menulis ya menulis saja. tidak usah dikendalikan oleh batasan-batasan.” Begitu kata Kris Budiman. Sedangkan Putu berkata bahwa menulis adalah self reflection. Dari proses itu, mungkin saja tulisan yang telah dibuat bisa berbau ethnografi.

Kris Budiman melanjutkan bahwa secara eksistensialis, menulis tentang the other memiliki pandangan bahwa semua orang adalah the other bagi ‘aku’. Menulis tentang the other culture tidak berarti harus suku bangsa lain. Di perkotaan saja misalnya banyak kelompok-kelompok di luar ‘saya’. Misalnya saja, menulis tentang para pelajar yang sibuk shoping di mal setelah sekolah. Ketika penulis bukan bagian dari mereka, maka tulisannya sudah bisa disebut sebagai karya ethnografi. Yang membuat novel bisa dikatakan sebagai karya ethnografi bukan karena ia menulis eksotisme suatu suku bangsa tetapi bagaimana pengarang melakukan kritik kebudayaan, self critisism terhadap kebudayaannya sendiri, dan menjadi bagian dari proses amar ma’ruf nahi munkar. Orang lain menjadi semacam cermin untuk berdialog dan terdapat proses merekam di situ.

Segelas kopi diteguk..srutttt…seorang perempuan dengan tato kuda terbang di punggung bahunya kembali duduk setelah sejenak meninggalkan tempat. Tato itu jelas terlihat karena ia hanya mengenakan kemben, menutup dua pulam yang menonjol di dadadnya. Dan obrolan dilanjutkan kembali.

Membedakan karya sastra ethnografi pada level empiris sangat sulit dilakukan. Clifford Gertz dalam berbagai analisisnya misalnya tentang abangan, santri dan priyayi sebenaranya belum melakukan apa-apa sebagai upaya membaurkan yang fiksional dan faktual. Ia hanya menjadi pendiri dari suatu bangunan teori yang akhirnya menjadi perdebatan dan tidak bertahan lama.

Putu kemudian melanjutkan bahwa ia telah menulis suatu novel yang merupakan tafsir ulang terhadap suatu karya klasik di Bali. Karya itu bercerita tentang kisah yang dianggap sebagai bentuk ruwatan masyarakat Bali yaitu ketika Sudamala meruwat Dewi Durga menjadi Dewi Uma. Ia juga bercerita tentang awal mula adanya pekuburan yang kalau di Jawa disebut sebagai Gandamayit. (maaf lagi, saya tidak begitu jelas mengikuti kisah yang diceritakan Putu).

Kisah ini bukan merupakan fakta tetapi sarat dengan nilai-nilai yang ingin diangkat Putu dan dikontekstualisasikan dengan keadaan kekinian. Putu merasa bertanggungjawab untuk menjelmakan dunia. Ia membayangkan hidup pada masa itu dengan kepedulian terhadap masalah-masalah masyarakat modern. Penegasannya terletak bahwa memang tak ada yang mutlak dalam dunia tulis-menulis. Seorang pengarang tentu saja bisa mendeskonstruksi segala sesuatu dengan sekehendak hatinya.

Putu juga menegaskan bahwa sebagai pengarang, ia tidak mau terjebak dalam lubang anthtropologi. Apa yaang dibicarakan Kris Budiman memang terasa seperti kuliah anthropologi 4 sks. Berbicara dengan teori-teori dan bermain pada tataran teoritik. Namun dengan sendirinya, ketika teori berhadapan dengan karya sastra, teori tersebut juga bisa cair. Teori sebenranya juga merupakan fiksi. Kris mulai menagaduk-aduk pikiran lagi. Teori hanyalah fiksi dan pemaparan dari mereka yang sok tahu.

Pun ketika karya ethnografi dibawa ke native-nya, pasti juga tidak akan sepenuhnya sesuai. Antara yang fiksi dan yang fakta akan sangat sulit dibedakan. Perbedaan sejarah dan karya sastra sebenarnya juga berkutat pada yang faktual dan fiksional. Hanya berkutat pada persoalan claim, persolan power dan persoalan tekstualnya. Tulisan fiksi merupakan rekaan. Namun pada hakikatnya, semua bentuk tulisan juga merupakan rekaan.

Sebagai seorang sastrawan, Kris mengatakan bahwa fiksi tidak hanya berasal dari imaji belaka tetapi tetap berdasar pada realitas. Apapun bentuknya pasti akan ada kadar faktualitas yang berasal dari experience. Bentuk lukisan abstrak sekalipun pasti juga berdasarkan realitas. Kesemuanya pada intinya hanya bergantung pada claim-claim yang kita buat sendiri. Bentuk novel islami, itu sebenarnya juga contoh dari claim, baik itu yang berasal dari pengarang, penerbit maupun konsumen.

Sebaliknya, ada pandangan sebagian besar dari kita dimana ketika karya sastra dibawa pada tataran teoritik akan terdapat arus balik. Seolah-olah karya sastra adalah karya yang anti intelektualitas. Padahal dalam membuat karya, seorang sastrawan akan melakukan studi juga, harus berpikir juga, dalam arti, sastrawan tidak hanya bekerja di balik meja. Cukup dengan khayalan dan ia bisa menghasilkan karya.

Dari kesemua hal yang dipaparkan, yang terpenting adalah proses kreatif yang hampir banyak dilupakan dari munculnya sebuah karya. Kebanyakan mereka disibukkan oleh hal-hal remeh seperti kategorisasi dan berbagai dikotomi. Putu menaggapi bahwa menulis memang harus di balik meja. Tidak bisa kita menulis di kebun atau di kolam renang. Pada tahun 2005, ia pernah menulis novel dengan judul ‘Samsara’ yang kalau diartikan dalam bahasa Indonesia bisa bermakna reinkarnasi. Meskipun pemaknaan ini sebenarnya memiskinkan pengertian dari Samsara yang sebenarnya. Novel itu dibuatnya melalui studi literatur dan berbagai wawancara. Ia menggunakan berbagai teori psikologi dan kedokteran juga.

Studinya merujuk pada sebuah kisah nyata dimana dalam teorinya disebut sebagai hipnosis regresi (kalau saya tidak salah dengar). Kisahnya tentang seorang yang trauma. Ia merasa ada suatu benda yang selalu terasa mencekik lehernya. Melalui metode penyerahan total, orang itu dikembalikan pada masa lalunya. Kecenderungan bahwa ia merasa selalu dijerat lehernya akhirnya bisa hilang dengan sendirinya setelah melakukan terapi-terapi. Tanpa disangka, realitas menyorongkan fakta bahwa pada tahun 1934 di sebuah kota kecil di Amerika, memang benar-benar ada seseorang yang mati dicekik lehernya yang kemungkinan mengalami samsara. Putu juga melakukan wawancara, membacai buku-buku tentang Dalai Lama, juga kepada orang-orang yang pernah mengalami hal serupa. Proses jurnalistik kadang-kadang bisa muncul dalam cerita. Di sinilah terjadi proses internalisasi fakta-fakta empirik.

Matahari semakin condong ke barat, udara mulai mengalami penurunan suhu. Obrolan masih saja gayeng

Kris Budiman menambahkan, “Pendidikan kita sebenarnya membuat kita miskin imajinasi dan susah sekali berpikir asosiatif.” Ia lalu bercerita betapa para siswanya yang selalu menuliskan dengan kering tugas-tugas yang diberikannya. Baru ketika para mahasiswa ini diberi tugas membuat cerpen berdasarkan obeservasi yang mereka lalukan, tulisannya bisa dirasakan sedikit menyegarkan tenggorokan.

Salah seorang peserta bertanya tentang bagaimana menghindari stereotyping ketika kita ingin menulis ethnografi.

Permasalahan ini sebenarnya hanya permasalahan strategi. Anthropogi mengaharamkan etnosentrisme. Tergantung bagaimana penulis bisa menjaga jarak dengan obyeknya. Terlalu jauh dengan obyek bisa menimbulkan stereotyping. Sedangkan ketika terlalu dekat maka akan menimbulkan gloryfikasi, menganggap baik keseluruhan obyek bisa membuat penulis menjadi tidak kritis. Maka dari itu diperlukan strategi seperti the familiarisasi. Selain itu, dari teknik menulisnya perlu adanya kehati-hatian dalam penggunaan kata sifat karena bisa menjerumuskan dalam stereotyping.

Menjadi pengarang adalah menjadi seorang yang kritis. Bukan menjadi seorang provokator atau legitimator untuk pengetahuan-pengetahuan yang taken for granted.

Obrolan menjelang akhir….

Tips bagi kita yang mulai bersemangat mengarang. Sebagaimana petang ini kita disuguhkan secangkir kopi dan senampan pengetahuan.

Kris Budiman: Permasalahan konsumsi merupakan hal yang paling dicemaskan bagi para penulis pemula. Kalau mau menjadi penulis yang best seller, caranya ya gampang saja. Silakan anda mengikuti kelatahan yang terjadi, silakan anda mengikuti pembaca. Menulis hanya menulis. Masalah menarik atau tidaknya, itu menjadi urusan pembaca. Dan imajinasi menjadi salah satu hal yang penting dalam menulis.

Putu: Imajinasi memang menjadi hal yang penting. Saya ikut prihatin terhadap keadaan sekarang ini dimana para wartawan sekarang sangat jarang yang membaca dan mengenal sastra. Mereka menjadi miskin imajinasi. Tulisan yang disajikan terasa kering. Tidak bisa membangun alur atau mengembangkan watak. Kering hidup kita ini tanpa imajinasi. Maka mulailah dengan membaca apa saja. Mulailah dengan menjaring referensi lain seperti pengalaman orang lain dan mengembangkan daya khayal kita. Sesekali berbelanjalah kata-kata dalam kamus. Mencari padanan makna kata yang bisa lebih sesuai digunakan dalam konteks tulisan yang akan kita buat. Juga mulailah untuk meningkatkan kemampuan berbahasa. Menyusun gramatikal dan menyajikan bahasa yang enak untuk dibaca, penuh imajinasi dengan diksi-diksi yang menguatkan makna.

Beginilah pada akhirnya. Saya ini hanya menuliskan sebuah dialog, sebuah obrolan. Sangat dimungkinkan saya tambah-tambahi sendiri sampai canmpur baur mana yang benar dan mana yang hanya pikiran pembual seperti saya. Tetap saya berharap tulisan ini bisa bermanfaat. Obrolan hanya menjadi obrolan tanpa dituliskan. Menghilang bersama matahari senja yang enggan tergelincir hari ini. Salam dari saya.

………………………

Tak banyak orang yang berpikir tentang seni di negeri ini. juga tentang hal remeh yang banyak luput dari perhatian.

Memang sulit ketika seni mulai menjadi komoditas. Ia bisa berdiri dalam ambivalensi dan ambiguitasnya sendiri. karena pasar mulai menentukan ‘guna’ dalam seni sebagai sesuatu yang tadinya abstrak menjadi sangat real ketika diukur dengan materi. Seni berdiri sebagai dirinya yang mulai kehilangan dirinya. Dan seni berdiri sebagai seorang yang mulai menyapa ramah masyarakat di sekitaranya. Tak lagi menjadi benda yang suci. Kehilangan diri sekaligus menunjukkan eksistensi. Bagaimana seni bisa dimaknai? Tunggu tulisan berikutnya….


Kantin Fisipol UGM, 24 Mei 2008

Dalam Sebotol Coklat Cair

Radhar Panca Dahana

Inilah kesempatan saya yang kesekian untuk bertemu para pengarang. Setelah melihat Malna maka Radhar tak tampak sisi keradikalannya. Ia datang dengan biasa-biasa saja. Datang menggunakan mobil warna merah yang diparkir pinggir jalan. Mengenakan kemeja kotak-kotak kecoklatan dan celana kain yang tersetrika rapi. Wajahnya sudah sedikit tua. Mungkin karena kebanyakan berpikir. Dan rambutnya bergelombang sedikit memutih, sedikit gondrong sebahu. Hati-hati saja dengan penampilan karena ketika ia bicara maka segala bentuk persepsi awal anda tentang Radhar akan benar-benar terbalik. Para pengarang ternyata memang suka menipu dengan penampilannya. Yang kedua ini sudah tak lagi mengejutkan saya.

Acara dimulai setelah molor beberapa jam. Mungkin ada semburat kekecewaan di wajahnya karena jumlah peserta tak seperti yang diharapkannya. Semua mahasiswa pada sibuk mengurusi kenaikan BBM. Tak banyak yang peduli pada seni dan kritik sosial yang ditulisnya.

Pembicara pertama adalah seorang akademisi dari jurusan komunikasi UGM. Namanya Budi Irawanto. Ia mulai pembicaraan dengan banyak menomentari bagian-bagian dari kumpulan esai Radhar secara terpisah-terpisah. Memilih mana yang sekiranya sangat menarik utnuk dibicarakan meskipun sebenarnya semua pemikiran Radhar sangat menarik untuk ditelaah dan diklarifikasi langsung dengan penulisnya.

Dunia kepenulisan Radhar sebenarnya hanya sebuah akibat dari adanya manusia pembaca (istilah ini manusia pembaca sebenarnya ditulis dengan suatu bahasa dan karena keterbatasan, saya tak bisa menangkap kalimat itu). Dunia kepenulisan hanyalah kumpulan dari mozaik-mozaik pembacaan yang bisa diartikan sangat luas. Membaca di sini bisa dimaknai membaca apa saja. Terutama realitas di sekitar kita yang sangat penting namun justru tak banyak mendapat perhatian. Dengan latar belakangnya sebagai seorang penulis puisi maka diksi yang dipakai dalam penulisan esainya bisa sangat indah seperti “retorika menjadi makna dan makna berkelana entah kemana.” Budi menggaris bawahi beberapa esai yang mengulas tentang peranan dan pentingnya media sebagaimana esai yang berjudul Dalam Sebotol Coklat Cair. Dalam esai ini Radhar menggunakan pemikirannya untuk mengkritisi infotainment. Sebuah istilah salah kaprah yang menjadi masif digunakan oleh masyarakat.

Kumpulan esai ini dibagi menjadi tiga bagian yang kalau saya tidak salah, urutannya terdiri dari: seni menawar, menawar seni dan menawar seni tawar. Ketiga sub bagian ini difungsikan untuk menunjukkan bahwa seni tidak hanya sebuah ekspresi tetapi juga proses tawar menawar. Proses ini pun dibagi menjadi dua bagian yaitu: pada level personal, terkait dengan hubungan seni dan kreatornya dan yang kedua adalah level sosial. Pada level ini, karya diperhadapkan dengan subyek yang lain. Tidak hanya subyektifitas kreatornya. Subyek yang lain ini bisa jadi kuasa, pasar, politik dan sebagainya.

Perkembangan teknologi dan peradaban saat ini menimbulkan suatu bentuk masifikasi seni dimana seni bisa diletakkan sebagai bentuk komoditas. Selain itu, juga terdapat politisasi seni dimana seni dipergunakan untuk membangun kekuasaan. Perkembangan semacam ini kemudian menimbulkan gejala seperti apa yang disebut Radhar sebagai ‘meninggikan kedangkalan’. Seni hanya dimaknai secara performance, sangat wadag, hanya melihat pada permukaan.

Senada dengan hal di atas, apa yang diungkapkan Walter Benjamin tampaknya memiliki kesesuaian. Seni modern dengan bantuan teknologi menimbulkan gejala yang disebut sebagai ‘seni post auratic’. Di sini terdapat pergeseran dimana seni yang dulunya sangat bersifat sakral (lahir dari tradisi gereja, ritual-ritual keagamaan) kemudian mengalami proses reproduksi. Manusia modern saat ini semacam kehilangan pengalaman yang otentik dan seni telah kehilangan auranya. Lalu timbul pertanyaan apakah hal ini buruk? Sebenarnya tidak juga karena seni bisa menjadi lebih demokratis. Seni tidak hanya menjadi milik suatu komunitas tetapi bisa dimiliki masyarakat secara luas. Misalnya saja lukisan bunga mataharinya Van Gogh. Lukisannya yang asli tetap memiliki nilai yang lebih mahal karena ada reproduksi yang dilakukan tadi. Selain itu juga terdapat unsur-unsur lain seperti promosi dan bumbu tentang kisah-kisah hidup Van Gogh sebelum ia menembak kepalanya sendiri.

Budi menyatakan bahwa secara esensi, karya seni itu tidak mempunyai aura. Adanya aura itu karena di-ada-kan oleh informasi atau promosi-promosi.

(saya sangat tidak setuju dengan pendapat ini. Seni adalah aura itu sendiri. Seberapapun jeleknya karya seni, ia tetap mempunayi aura. Hanya mereka yang tidak merasakan dan telah mengkonstruksi pikirannya sendiri bahwa aura itu ada karena proses dari manusia lain. Ini salah karena aura memang tidak dapat dirasakan begitu saja. Apalagi oleh seorang yang kurang bisa menghargai seni secara esensi. Hanya menghargainya secara materi).

Salah satu esai Radhar yang lain membahas Dewan Kesenian Jakarta. Seni menjadi benda yang diadministrasikan, dibirokratisasikan. Padahal seharusnya seni tidak memperhitungkan aspek material tapi lebih pada moral. Tetapi bagaimana pun aspek materi ini tetap penting. Toh seorang seniman juga tetap butuh materi untuk menghidupi diri dan seninya.

Sebuah esai, kata Ignas Kleiden adalah tidak lebih dari obrolan yang dituliskan. Maka akan lebih baik kalau dicantumkan konteks waktu kapan easi itu ditulis. Seperti itulah pemaparan dari Budi Irawanto dengan sebuah saran dalam mengakhiri pembicaraannya.

***

Saatnya Radhar bicara. Ia membuka salam dengan suaranya yang berat. Sebatang rokok disulut dengan perlahan. Asap dihembuskan penuh kenikmatan.

Membuka pembicaraan dengan suatu pertanyaan, “Menarik gak omongannya, Budhi tadi? Sebarapa menarik bila dibandingkan dengan kenaikan BBM? Kalian ini datang ke sini mau nagapain? Ketemu dengan saya yang kata orang hebat itu? Sekadar bertemu dengan seorang penulis dari jakarta yang tulisannya banyak muncul di koran atau media massa?” semua peserta yang hanya terdiri dari segelintir orang ini tak ada yang menjawab. Tampaknya mereka datang memang dengan pikiran yang kosong. Bertindak tanpa tujuan, atau bahkan hanya ikut-ikutan.

Radhar mulai bercerita.

Semua karya itu profan. Ia bisa sakral karena dilistriki, diberi energi oleh para komentator, kritikus dan sebagainya. “Kalian ini tidak punya pikiran kok datang ke sini. Padahal kita di sini ini mau ngomongin tentang pikiran. Kita ini sudah seharusnya mempunyai konteks dalam berpikir, bertindak.” Pertanyaan Radhar memang menghentakkan pikiran kami semua. Ia bicara hal yang memang tak pernah kita pikirkan dengan gayanya yang meledek khas Suroboyoan (mungkin). Kita yang tak pernah berpikir ini memang terbiasa terjebak dalam pikiran-pikiran oreng lain. Tak lain tak bukan juga karena peran media. Sinetron yang ada sekarang secara tidak langsung telah memaksa kita untuk berpikiran seperti mereka. Kita malah kehilangan pikiran kita sendiri.

Karena tadi Budi membicarakan tentang aura, maka Radhar pun menyambungnya. Tema hari ini berubah menjadi pembicaraan tentang aura. Semua yang berbau aurat itu menimbulkan aura. Apa yang dilihat hanya sebatas pada sensasi. Mulai dari paha, susu, semua hanya sensasi permukaan.

Berbicara masalah aura, khususnya tentang seni, maka ia takkan terlepaskan dari konteks kesejarahan. Dulunya, kesenian itu hanya menjadi pekerjaan orang-orang tertentu, bukan sembarang orang. Lebih khususnya, dikerjakan oleh para agamawan. Kesenian jaman dulu dengan bentuk puisi atau mantra-mantra menjadi bagian yang misterius—dibuat oleh dan untuk kepeerluan supranatural. Kemisteriusan dan sifat supranatural dalam seni itu ada karena kekuatan di luar manusia yang mengatur hidup. Seni menjadi representasi kemisteriusan satau sakralisasi dari Tuhan. Mereka yang menjadi jembatan kemisteriusan dengan dunia manusia adalah para kyai dan para pendeta.

Kontek sejarah juga berbicara bahwa seni memberi pengaruh yang kuat dalam kekuasaan. Senimanlah yang mentahbiskan Erlangga sebagai nabi. Demikian juga dengan seni yang mengandung etiket-etiket tertentu. Baik itu etiket orang-orang Eropa maupun Keraton-Keraton Jawa menjadi semacam gulungan karpet-karpet merah yang digelar. Seni menjadikan permukaan karpet itu tampak sangat indah, namun ketika karpet itu dibalik, maka akan tampak segala bentuk kotoran yang bukan main banyaknya. Dari, kecoa, kepinding, semuanya lengkap ada.

Sakralitas dalam kesenian ini bertahan sampai pada berkembanganya teknologi. Teknologi kemudian mereproduksi seni. Mengubah seni yang sakral menjadi profan dan populer. Sebagaimana film yang mulai menghapus tradisi teater dan mulai menghilangkan aura. Seiring dengan berkembangnya teknologi, apakah benar ada upaya untuk membangun kembali aura dan sakralitas seni? Dalam hal ini melalui proses mediasi dengan komunikasi sebagai instumennya. Ternyata tidak juga. Sebuah karya kalau hanya ada satu ya tetap mahal. Yang dicari orang tetap keunikannya. Dan kesemuanya beralih menggunakan logika pasar untuk membicarakan seni.

Logika pasar yang mulai berkembang sebenarnya tidak hanya ada di dunia seni tetapi juga berkembang dalam kehidupan kebudayaan dan kehidupan sosial yang lain. Contohnya saja ketika kita membicarakan guru. Dulu guru itu sangat diagungkan, ibaratnya, pejah gesang nderek Pak Guru. Tapi sekarang? Kita bisa merasakan sendiri perubahannya. Pemimpin dulu juga sangat disakralkan tapi sekarang lumrah-lumrah saja. Yang mencoba mensakralkan malah dipenyet-penyet. Fenomena ini menggambarkan adanya desakralisasi. Orang kembali berpikir bahwa mereka juga manusia biasa. Punya masalah ekonomi, keluarga, seperti kebanyakan kita.

Persoalan auratik sebenarnya bukan persoalan apa merepresentasikan apa yang ada di dunia lain. Tetapi aura adalah cermin atau kekuatan dari dalam suatu karya. Aura ini tak bisa dilihat semua orang dalam karya seni karena adanya proses demitologisasi. Orang cenderung mengalihkan perhatian pada penampilan, performance dan bukan pada kekuatan jeroannya. Banyak orang yang menganggap suatu karya itu bagus karena memang tidak pernah tahu karya yang bagus sebenarnya. Manusia sekarang terjebak pada proses kedangkalan berpikir. Ia telah berhasil dikelabui zaman hingga memuliakan proses hidup tertentu (demokrasi). Dari seni menjadi demokrasi merupakan sebuah loncatan yang aneh. Tapi memang keduanya tetap bisa saling berhubungan.

Tentang demokrasi. Proses ini telah membuat orang-orang memilih mereka yang tidak berkualitas seperti itu. Soal seksual, coba tanyakan kepeda para cleaning servive di gedung DPR. Berapa jumlah kondom yang ditemukan di tempat sampah pada setiap ruang kerja setiap harinya? Mereka disediakan fasilitas seperti televisi sekian inci di tiap ruang kerja, tapi malah digunakan untuk melihat yang bukan-bukan. Yang tak pantas dilakukan.

(ini kata Radhar. Saya hanya menulis ulang dan tak mau ikut-ikutan. Nanti bisa dituduh subversif).

Soal korupsi, tak usah ditanya lagi berapa duit rakyat yang dikorbankan. Negeri ini telah ditentukan oleh para pencoleng seperti mereka. Dan itu telah dan terus direproduksi. Rakyat telah jengah dan inilah yang membuat Dedy Yusuf—naif dan tak punya pengalaman, justru dipilih. Ia hanya mewakili the fresh one, not contaminated, tapi tetap tidak berkualitas.

Memperbaiki kualitas bangsa yang sudah sedemikian parah, tidak ada cara lain selain dengan memperbaiki kualitas diri. Memperbaiki kualitas diri agar tidak tergiur dengan hal yang ilusif seperti tadi.

Terkait dengan kebangkitan nasional. Tak ada lagi yang dibangkitkan kecuali dusta. Dusta untuk selalu mempertahankan status quo. Pun halnya kebangkitan kita telah dihantui oleh mitos dan ilusi. Tahun 1908 yang katanya adalah tahun kebangkitan nasional sebenarnya adalah tahun kebangkitan para priyayi Jawa. Dusta itu kemudian diturunkan dan diwariskan sampai sekarang demi mempertahankan apa yang disebut orang sebagai kekuasaan. Mitos dan ilusi juga dibangkitkan dengan adanya teelevisi. Misalnya saja promosinya Sitrisno Bachir. Hal yang sebanarnya berasal dari menginjak-nginjak perusahaan lain. Dan perusahaan itu bisa berdiri juga dengan uang kita. Sudah berapa duit kita yang dikeruk. Hanya demi mengongkosi demokrasi. Ongkos yang mahal sekali. Sebagai orang Indonesia, Radhar mengaku jijik dengan apa yang dialami saat ini terkait dengan jargon demokrasi.

Radhar kemudian mengajak kita untuk sesekali atau bahkan selamanya membuang ilusi atau mitos-mitos. Sudah saatnya kita membangun kehidupan yang jujur. Tidak penting apa itu aura atau aurat karena kesemuanya bisa dilihat dari dalam diri seseorang. Memang akan sangat sulit untuk menggambarkan jiwa. Suatu bentuk mikrokosmos yang unidentified. Satu bentuk imanensi yang tak tergambarkan.

Di sinilah peran analisis kesenian bisa mendapat signifikansi. Kesenian akan membangkitkan kesadaran akan kehidupan. Membongkar karpet tebal dan melihat kotoran yang tak hanya tampak dari permukaan. Tapi, juga kotoran disebaliknya. Bangsa ini membutuhkan kekutan jiwa dan spiritual yang kokoh. Yang memancarkan aura dan tidak berbau aurat.

(Demikianlah apa yang bisa disampaikan Radhar karena keterbatasan waktu. Idenya kadang meloncat dan tak terkirakan. Saya sedikit bingung juga ketika menyalin kembali cacatan saya. Banyak yang tidak nyambung. Mohon maaf kepada pembaca.)

Sesi berikutnya adalah tanya jawab. Sesi ini tampaknya akan seru karena baru dibuka termin pertama sudah banyak yang mengacungkan tangan untuk bertanya.

Pertanyaan pertama tentang apa yang disebut sebagai isu tentang seni tanpa isu. Di sini, seni hanya mengambil tempat untuk mengafirmasi atau sekadar mengikuti.

Tentang hak intelektual.

Agak kaget juga ketika Rdhar mulai mngumpat, “Anjing! Edan! Rampok!” isu semacam itu hanya akan menggiring kita untuk dimakan sistem kapitalisme. Yang miskin dipaksa untuk memperkaya orang yang sudah kaya. Lihat saja contohnya seperti kepemilihan program komputernya microsoft. Kita yang miskin-miskin ini harus membayar kepada orang yang sudah sangat kaya. “Kita ini nggak mungkin ngeruk. Mereka yang selama-lamanya ngrampok. Asu! Bahkan kekayaan kultural juga ikut dirampok. Orang Eropa sebenarnya tidak mempunyai karya yang inovatif. Semuanya merupakan inspirasi dari kita. Kita yang mau ngrampok windows saja sudah dihujat. Memalukan!”

Penutup dari radhar bercerita tentang kehidupannya karena seorang penanya menyinggung tentang hubungan antara civilized dan pendidikan. Radhar besar dengan mengenyam pendidikan di terminal. Tapi akhirnya sampai juga ia ke Paris. Kadang, seni bisa menjadi posisis tawar yang penting.

Pertemuan pun diakhiri. Katanya, “Sebenarnya saya masih ingin bersama kalian, para mahasiswa yang bisa membuat saya jadi kelihatan muda. Tapi apa mau di kata, jam setengah satu ada janji sama Jusuf Kalla. Dia mau belajar akting sama saya.”


Lantai 3 Perpustakaan Unit 1, American Corner. UGM

27 Mei 2008

Walt Whitman dan Impian Amerika

Kali ini, para pengarang akan membicarakan tentang salah satu sastrawan Amerika. Ia adalah Walt Whitman. Jeda waktu ini, kita akan menemui Dwi Cipta dan Tia Setiadi. Yang terakhir disebut merupakan penerjemah biografinya Walt Whitman. selamat menikmati penggalan perjumpaan ini.

Sebelum acara dimulai, sebuah puisi karya Walt Whitman dibacakan. Judulnya, “Ode untuk diriku”. Saya hanya mencatat larik pertamanya ‘Aku melihat di Lousiana, sebatang pohon ek sedang tumbuh’.

Dwi Cipta memulai perbincangan di siang yang sejuk ini. Amerika terbiasa di judge sedemikian rupa oleh para negara berkembang. Tapi, yang kadang luput adalah sejarah Amerika Serikat yang menjadikannya sedemikian kuat. Biografi Tia akan diberi judul ‘Walt Whitman dan Impian Amerika’. Sekitar tahun 1930-an negara-negara di dunia mengalami malase ekonomi yang luar biasa. Amerika hadir dengan Rosevelt melalui program-programnya. Dan di situlah sastra dengan gaya satire banyak memberi penyadaran. Impian Amerika mulai dimaknai sehingga Amerika sebagai sebuah negara berhasil terhindar dari keterpurukan ekonomi.

Akar sastra yang bisa membangkitkan perekonomian inilah yang kemudian berkembang ke kebudayaan. Mulai terdapat persamaan ras. Bla..bla..bla..(ini keterbatasan daya catat saya. Dwi Cipta melanjutkannya dengan banyak membicarakan tentang sejarah Amerika. Dengan istililah-istilah populer yang saya tidak mengerti). Intinya, impian Amerika terinspirasi dari semboyan kemerdekaan Perancis. ‘Liberte, Fraternite, Egalite’. Dan dari sini, mulailah berkembang sastra multikultural di Amerika Serikat. Tampaknya Dwi Cipta ingin mengatakan bahwa jangan melihat Amerika hanya dari bungkusnya dan apa yang kelihatan mata. Karena, karya sastra bisa lahir dari pertanyaan-pertanyaan mengapa bangsa itu lahir. (mungkin masih banyak yang terlewat)

Tia mulai menyambung bicara. Ia mengawali dengan salah satu puisi Walt Whitman.

aku tidak ingin jadi filsuf besar,

aku tidak ingin bergaul dengan profesor-profesor,

aku hanya ingin mengajakmu memandang ke jendela,

dan tangan kiriku melingkar di pinggangmu,

dan tangan kananku menunjuk ke jalan yang tak berawal dan berujung

(sekali lagi saya minta maaf kalau salah catat)

Sosok Walt Whitman sedikit banyak bisa menggambarkan bagaimana impian subyektif bisa menjadi besar. Banyak yang kemudian menggandrungi karya-karyanya. Impiannya lahir dari keyakinan bahwa Tuhan ada dimana-mana, juga ada dalam diri orang lain. Bagi Whitman, Agama bukan doktrin tapi kasih sayang.

Ia besar di pedesaan, di bawah langit dan keyakinan agama yang terbuka. Banyak kejadian disekitarnya yang kemudian memepngeruhi cara berpikir dan pandangannya. Suatu hari ia heran dengan suatu peringatan tenggelamnya sebuah kapal. Kapal yang tenggelam itu menelan banyak korban dan berbau maut yang sangat kuat. Tapi, mengapa ini diperingati dengan sangat riuh? Dari sini, ia mendapati suatu pandangan ambivalensi pada kematian.

Masa sekolah, Whitman termasuk anak yang tidak disukai dan diperhatikan oleh gurunya. Ia termasuk anak malas dan sangat tidak menyukai ruang kelas. Bisa jadi ia duduk di sebuah bangku dalam ruangan tapi pikirannya bisa sampai ke ujung-ujung. Ia mempunyai kebisaan tidur di bawah pohon apel dan memandang langit. Setelah lulus, ia sempat menjadi editor. Bekerja di sebuah penerbitan sekaligus percetakan dengan penampilan acak-acakan. Salah satu esaynya berjudul ‘kesenangan-kesenangan seorang pemalas’.

Whitman juga menyukai politik. Hal yang membuatnya terkesan adalah ketika berada di Long Island. Hari itu terdapat arak-arakan lafayette militer yang baru saja memenangkan suatu pertempuran. Ia berdiri di tepi barisan dan seorang tentara tiba-tiba merengkuhnya. Ia selalu mengenang saat itu. Whitman juga dikenal sebagai orang yang suka mendramatisir sesuatu. Ia tidak pernah tertarik pada seorang perempuan tetapi pada perempuan secara keseluruhan. Yang disukai adalah jiwa perempuan. Jalan kebebasan menuntunnya keluar dari kantornya. Ia akhirnya mencetak, menerbitkan dan mengedarkan korannya sendiri. Setiap malam ia suka tiduran dengan para petani dan mendengarkan segala cerita dari mereka.

Lima belas tahun kemudian, ia mulai menulis puisi, prosa, cerpen. Meskipun pada saat itu hasilnya masih sangat jelek. Nasibnya tak begitu baik karena selalu dikeluarkan dari koran dan penerbitan tempat ia bekerja. Karya-karyanya tak satu pun yang diperhitungkan. Whitman pernah juga berkata dalam hati, “aku tidak ingin menjadi penyair. Tetapi, menjadi nabi bagi kaum proletar.” Sensitifitas sosialnya tersebut mendorongnya untuk menjadi aktivis partai demokrat. Ia berusaha untuk menentang isu perbudakan. Sebagaimana Rendra yang juga menjadi pembela kaum proletar.

Sampai pada tahun 30-an awal, ia menempelkan kata-kata di dinding kamarnya. ‘bikinlah karya-karya!’. Setelah itu Whitman mencoba untuk mengganti penampilannya. Ia menjadi seorang yang rapi dengan topi besar mirip koboi. Sebuah pseudo sains, atau dalam bahasa lain ‘ramalan’ mengatakan bahwa Whitman memiliki kemauan dan nafsu seksual yang besar. Ia juga memiliki hubungan persahabatan yang baik. Umur 35 tahun, rambutnya sudah mulai memutih. Pada usia 37 tahun, ia tinggal di Brooklyn. Pekerjaannya adalah berdiam diri di dalam kamar dan menulis. Bagi keluarga, Whitman tidak berharga karena tidak bekerja. Bukunya berjudul “Leaves of Grass” tidak juga laku di pasaran.

Namun, salah satu sumbangan Walt Whitman adalah ia tidak hanya merayakan jiwa dan ruh tetapi juga indrawi atau tubuh. Tubuh tidak hanya dianggapnya sebagai penjara dan penghalang. Pendapatnya ini merupakan salah satu pemikiran revolusioner di zamannya. Ia juga berusaha untuk memasukkan kosa kata biasa, yang lazim dipakai dan sepele. Whitman juga dikatakan sebagai penyair realis. Kebiasaannya adalah menyapa semua orang sehingga ia dijuluki sebagai penyair bagi semua orang.

Pemikiran revolusionernya tampak dalam potongan puisinya. ‘akulah alam semesta. Aku makan. Aku tidur. Aku melahirkan.’ Pada abad ke-19, hal ini termasuk hal yang mengejutkan dan mencengangkan. Tia memaparkan biografinya sebagaimana ia adalah seorang teman dekat Whitman.

Sayang sekali, saya harus pergi. Meninggalkan keindahan sepotong ranting di sini. Adalah cinta manusia.

Huh, kuliah politik agraria memaksa saya meninggalkan perbincangan yang belum selesai. Bagian intinya saja belum terjamah. Tentang sebuah impian.

Tulisan berikutnya akan berkaitan juga dengan sebuah impian.

…………………………..

Minggu, 3 Agustus 2008

SMA 2 Bantul.

Dari Bantul untuk IPTEK Indonesia

Sebenarnya dia bukan seorang pengarang. Tapi, dalam arti yang lebih luas bisa disebut juga demikian. Dia adalah seorang ilmuwan dan kreator. Barangkali dia bisa menjadi inspirasi dan membangkitkan motivasi. Ternyata masih ada orang Indonesia yang sudah mendunia seperti dia. Mungkin kita pantas bangga. Diantara setumpukan sampah dan masalah di negeri ini, masih ada orang-orang yang mempunyai mimpi. Dan mimpi itu adalah mengembalikan kejayaan Indonesia sebagaimana telah diraih pada zaman kerajaan Sriwijaya ataupun Majapahit.

Namanya Dr. Warsito. Saat ini beliau menjabat sebagai ketua Masyarakat Ilmuwan dan Tegnologi (MITI) se-Indonesia. Kesibukannya mengajar di Ohio University tidak menghalangi kecintaannya terhadap anak negeri. Ia sengaja datang pada sebuah acara launching program researh development yang diselenggarakan UKM Gama Cendekia dan KSF dari beberapa fakultas di UGM dan didukung oleh MITI dan Yayasan Bina Remaja (YBR) Bantul. Program ini bertujuan untuk mengenalkan penelitian kepada anak-anak SMA dari beberapa sekolah di Bantul melalui bentuk pendampingan yang melibatkan para mahasiswa. Sangat beruntung Dr. Warsito bisa hadir dan memberi sedikit pencerahan di tengah awan kelabu yang menggumpal di atas bumi Indonesia.

Sebuah pembicaraan disampaikan di depan anak-anak SMA yang tampak antusias ketika mendengar siapa yang sedang berbicara. Dr. Warsito memulai pembicaraannya dengan penggambaran kemjuan Indonesia di tingkat dunia. Banyak dari generasi bangsa yang merasa minder ketika berhadapan dengan anak-anak dari negara maju. Apalah yang bisa kita banggakan dari negeri ini? kita menjadi semcam generasi yang minder karena keterbelakangan dan permasalahan yang semakin panjang tanpa ujung.

Marilah kita sejenak menengok peninggalan sejarah di Indonesia, yaitu Candi Borobudur. Di situ terdapat ralief yang sangat terkenal. Sebuah relief tentang gambar perahu Samodra Daksa pada zaman Sriwijaya. Kerajaan ini berdiri sekitar abad ke-7. Teknologi perahu tersebut merupakan teknologi dan penemuan paling canggih sedunia pada abad itu. Ironisnya, sekarang justru banyak dijual kapal mainan di pelataran candi, terbuat dari kayu atau seng yang bisa berputar-putar di atas air dalam baskom. Pertanyaannya adalah, kenapa terjadi kemunduran yang sedemikian besar terhadap Indonesia? Salah satu sebabnya, tidak ada kemampuan dari masyarakat Indonesia untuk mewarisi budaya. Budaya untuk berpikir, meneliti dan mengambil manfaat dari hasil penelitian.

(Sayangnnya, pembicaraan seorang Dr. Warsito yang sangat dihargai di negeri orang justru tak mendapat perhatian di sini. Pada awalnya mereka memang antusias, tapi setelah beberapa lama, ternyata jadi banyak yang tak memperhatikan. Sebagian ngobrol dengan teman, menulis-nulis sesuatu atau melakukan beberapa kegiatan lain. Namun, saya akan tetap menuliskan segala pembicaraan yang tentunya akan sangat sayang kalau dilewatkan.)

Dr. warsito merasa yakin dapat mengembalikan kejayaan Indonesia sebagaimana yang telah diraih pada masa lalu. Akan sangat menarik mengikuti ringkasan biografi beliau. Bagaimana idealisme bisa diwujudkan dalam bentuk kerja keras dan aksi. Dua puluh tahun yang lalu, Warsito remaja baru lulus SMA. Ia kemudian kuliah di jurusan teknih kimia UGM. Hanya kuliah selama sebulan, Warsito kemudian mendapat beasiswa untuk melanjutkan studinya ke Jepang. Ia tinggal selama 12 tahun di Jepang, kemudian selama pindah dan menetap di Amerika selama 7 tahun. Warsito adalah seorang anak kampung. Ia berasal dari Metesih, Karanganyar. Ia tinggal di sebuah kecamatan yang pelosok bernama plosorejo. Desanya pun tidak berada di pusat kecamatan namun berada di pelosok bagian utara sehingga disebut Ploso Lor.

Meskipun tinggal di desa yang jauh dari fasilitas, sejak kecil ia punya keyakinan bahwa ia tidak akan kalah dengan siapapun di dunia ini dalam bidang yang ia tekuni. Sejak kecil kegemarannya adalah membaca. Tak satu pun buku di perpustakaan yang dilewatkannya. Mulau dari Siti Nurbaya dampai teori-teori fisika. Suatu saat, Warsito pernah bertaruh dengan kakanya bhawa pada usia 26 tahun harus bisa mendapat nobel agar dapat mengalahkan Einstein yang mendapat nobel di udia 27 tahun. Mimpi memang tak semudah seperti yang dibayangkan. (mirip ceritanya laskar pelangi. Tapi orang seperti dia mungkin memang hanya diciptakan seribu satu di dunia.)

Dr. Warsito mengadakan suatu penelitian tentang interaksi antara gelombang dan materi. Penelitian ini dilakukan dan ditekuninya selama 15 tahun. Hasilnya, alat yang diciptakannya itu bisa melihat tembus pandang suatu materi. Seperti mata seorang upermen barangkali. Butuh waktu yang sangat lama untuk bisa menemukan alat tersebut. Hal yang dilakukannya adalah tidak berhenti berpikir dan mencoba. Alat tersebut kemudian dipatenkan dan diberi nama follow metrik (kalau saya tidak salah dengar dan salah sebut). Hal terpenting lainnya adalah kebutuhan akan motivasi yang sangat besar dalam proses penelitinnya. Proses berpikir menjadi kunci dalam keberhasilan penelitiannya. Hukum gravitasi Newton sebenarnya ditemukan bukan karena apel yang jatuh dari pohon. Itu hanya untuk menyederhanakan penjelasan bapak guru fisika terhadap murid-muridnya. Hukum itu bisa ditemukan karena proses berpikir yang lama. Tidak ada kemampuan yang bisa dicapai secara instan. Beliau juga mengatakan bahwa jenius itu berasal dari 99% kerja keras.

Apabila semua mimpinya bisa diwujudkan, mungkin dalam 10 tahun yanng akan datang, Indonesia bisa meraih kembali masa kejayaannya. Impiannya adalah menggali keseluruhan potensi yang luar biasa besar di Indonesia. Banyak sekali hal yang sebenarnya bisa digali dan dikembangkan di sini. Hal inilah yang menjadi resolusi untuk mewujudkan impiannya. Ia hanya ingin mewujudkannya di sini. Hanya di Indonesia dan bukan di negara atau planet lain. Mimpinya memang hanya akan bisa diwujudkan di negeri kita tercinta ini.

Pembicaraan singkatnya memberi kita banyak ilham dan inspirasi. Bagaimana kita bisa ikut menyumbangkan segala daya upaya untuk bersama-sama mewujudkan impian. Bermimpilah kawan, karena mimpi adalah kekuatan dan sayap malaikat yang akan merengkuhmu untuk mewujudkannya.

1 Novi Kussuji Indrastuti. Karakteristik Sajak-Sajak Afrizal Malna dalam Teman-Temanku dari Atap Bahasa: Studi Komparatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar