Catatan perjalanan. Entah sudah berapa waktu berlalu tak tercatat. Dalam hari yang terlupa. Dalam wamtu yang tenggelam. Catatan ini masih bisa tertulis. Aku mengingatnya dalam setiap kata. Ini orang entah sebuah utusan untuk memperingatkan atau hanya sebuah kebetulan. Tapi katanya, tak ada yang kebetulan di dunia ini. semua telah menjadi rancanganNya. Hanya tinggal kita, apakah bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian atau hanya menyaksikan dan berlalu tanpa kita dapat apa-apa.
Seorang tua tiba-tiba meletakkan koper besarnya pada kusri kosong di sebelah saya. Sedikit saya deskripsikan luarannya. Orang ini berjenggot tebal, berjambang pula. Kesmeunya sudah mulai memutih dimakan usia. Pakai blangkon khas jojga dipadu dengan kemeja berwarna kecoklatan dan celana hitam panjang. Saya sedikit takut dengan penampilannya yang tidak bisa. Melihat kopernya itu, jangan-jangan ini orang jahat. Seorang mafia dan siapa tahu ada senjata dalam kopernya itu. tapi tak usah suudzon dulu. Cerita di balik penampilannya, ternyata ia adalah seorang bapak yang menanggung beban permasalahan anak-anaknya.
Dimulailah sebuah cerita dalam satu perjalanan. Jogja-Solo.
Dia ini punya tiga orang anak. Anak yang pertama dan kedua adalah perempuan. Masing-masing tak bisa menamatkan kulaihnya karena tergoda untuk segera kawin. Yang pertama tinggal skripsi dan tak melanjutkan lagi dan yang kedua sudah selesai KKN tapi juga tak melanjutkan kuliahnya yang tinggal semenit waktu itu. nak yang ketiga adalah laki-laki. Harapan satu-satunya, pasti senang punya anak yang bisa dapat gelar sarjana. Dari universitas terkemuka. Universitas Indonesia. Beberapa minggu sebelum ujian, si bapak ini dibikin kaget dengan berita dari anaknya. Ia terkena kasus narkoba. Tertangkap saat sendang menghisap ganja di kost-kostannya. Padahal ujian akhir tinggal beberap minggu lagi dan si bapak ini, amat sangat kecewanya. Katanya, “satu yang paling menyedihkan bagi orang tua adalah ketika ia dibohongi anaknya sendiri.” Dan betapa senag orang tua menyaksikan anaknya diwisuda jadi sarjana. Mengenakan toga. Menyelesaikan kuliah dengan lancar tanpa halangan apa-apa. Bagi yang perempuan, hati-hati dengan godaan. Salah satunya adalah, “rupa bagus.” Ingat ya….
Segala cara diusahakannya agar si anak bisa ikut ujian. Disiapkan sebuah pengawalan saat ujian. Dari kepolisisn dan dari pihak kampus. Yang bikin sesak lagi. Anaknya ini mau dibikin percontohan bahwa polisi telah mengindikasikan adanya jaringan narkoba di kampus. Yang tak bisa tersentuh karena terbatas otoritas kampus yang tak memperbolehkan pihak kepolisisna untuk masuk. Dan kesemunya itu bukan tanpa biaya. Bahkan saat masuk penjara. Si bapak masih dibebani biaya sebesar seratus limapuluh ribu rupiah tiap bulan. “Cih..negara macam apa ini. masak penjara saja juga pake mbayar.”
Lalu dia mengucapkan harapannya, bahwa kelak saya dan teman-teman ini bisa mengubah negara. Negara yang carut marut tidak karuan. Si bapak ini sedang berharap pada kami. Saya hanya bia meng-Amin-i ucapannya.
Tanpa terasa. Bus sudah memasuki terminal Tirtonadi Solo. Sebagian penumpang turun untuk menghindari transit yang terlalu lama. Entah bagaimana, si bapak itu menghilang. Tak kelihatan lagi.
Ini tadi kisah hikmah, coba ditelaah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar