Kamis, 11 Desember 2008

Institusionalisasi Partai : Sebuah Proses yang Belum Juga Sampai

Institusionalisasi Partai : Sebuah Proses yang Belum Juga Sampai

Oleh: Ratna Puspita Dwipa Nugrahhani / 21856

1. Pengantar

Indonesia sampai saat ini masih berada dalam tahap konsolidasi demokrasi sejak tahun 1998. Proses transisi ini nampaknya akan berjalan lama karena lemahnya komponen-komponen yang bisa menjamin terselenggaranya sistem yang demokratis. Salah satu komponen tersebut adalah partai politik. Partai politik dalam sistem pemerintahan demokratis berfungsi sebagai representasi dari kepentingan warga negara. Partai politik juga berfungsi menyalurkan kepentingan-kepentingan tersebut melalui anggotanya yang duduk dalam lembaga legislatif yang dipilih lewat pemilu.

Berbagai tulisan banyak mengungkap bahwa partai politik di Indonesia belum bisa menjalankan fungsinya sebagai partai politik. Sebagian partai hanya berorientasi untuk mencari kedudukan dalam legislatif namun tidak mewakili kepentingan rakyat. Partai cenderung hanya merupakan kendaraan bagi kelompok-kelompok tertentu untuk memenuhi kepentingannya. Partai yang ada sekarang bisa dikatakan masih berupa embrio.

Kurang berfungsinya partai di Indonesia merupakan permasalahan umum dalam konsolidasi demokrasi. Namun apabila permasalahan ini masih harus ditambah dengan permasalahan konsolidasi internal partai, demokrasi yang diharapkan akan semakin sulit dicapai. Permasalahan konsolidasi internal partai banyak terlihat dari timbulnya konflik-konflik Internal. Seperti halnya apa yang terjadi dalam tubuh PDIP. Pada Kongres PDIP di Bali tahun 2005, Megawati Sukarnoputri dan para pendukungnya harus berhadapan dengan Gerakan Pembaharuan yang menggugat dominasi ketua umum PDIP Megawati sukarnoputri. Seperti juga PDIP, konflik juga muncul dalam tubuh PKB, antara Gus Dur melawan kubu Alwi Ahihab dan Syaifullah Jusuf sampai akhirnya, PKB harus memiliki kepengurusan ganda.

Permasalahan-permasalahan tersebut mengilustrasikan betapa kompleks persoalan yang dihadapi partai politik di Indonesia. Setelah apa yang terjadi di masa Orde Baru dengan kebijakan fusi partai, pada masa sekarang, partai politik masih harus berhadapan dengan tantangan seperti konflik internal partai dan adanya kelompok-kelompok tertentu yang menggunakan partai untuk memenuhi kepentingannya. Euforia partisipasi setelah Orde Baru juga banyak melahirkan partai-partai yang muncul seperti cendawan di musim hujan. Namun apakah partai-partai tersebut telah benar-benar menjalankan fungsinya dengan baik? Apa masalah yang sebenarnya dihadapi partai ketika partai tidak bisa menjalankan fungsinya?

Salah satu masalah serius yang dihadapi partai-partai di Indonesia adalah tidak adanya institusionalisasi dalam tubuh partai secara menyeluruh. Partai seakan-akan hanya menjalankan aktivitasnya menjelang pemilu. Setelah itu, masyarakat tidak tahu apa yang dilakukan partai. Intitusionalisasi partai tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena terdapat kelemahan-kelemahan internal dan eksternal partai. Ramlan Surbakti menjelaskan bahwa setidak-tidaknya ada tiga kelemahan utama partai politik di Indonesia. Pertama, ideologi partai yang tidak operasional sehingga tidak saja sukar mengidentifikasi pola dan arah kebijakan publik, yang diperjuangkannya tetapi juga sukar membedakan partai yang satu dengan partai yang lain. Kedua, secara internal, organisasi partai kurang dikelola secara demokratis, sehingga partai politik lebih sebagai organisasi pengurus yang bertikai daripada organisme yang hidup sebagai organisasi anggota. Ketiga, secara eksternal kurang memiliki pola pertanggungjawaban yang jelas terhadap publik.[1]

Dari kelemahan-keleman tersebut, jelas bahwa hal pertama yang harus dilakukan partai-partai di Indonesia adalah melakukan pelembagaan partai. Pelembagaan tersebut tidak hanya menyangkut perbaikan bangunan sistem internal partai tetapi juga pengelolaan secara eksternal. Pengelolaan secara eksternal menyangkut bagaimana partai bisa menjaga suara agar voters tetap memilih partai yang sama dalam pemilu berikutnya. Hal terpenting yang bisa menunjang proses pelembagaan partai adalah profesionalisme dalam pengorganisasian dan manajemen partai.

2. Pelembagaan Partai

Menurut Huntington (1968:12), pelembagaan atau institusionalisasi partai adalah sebuah proses pengorganisasian dan prosedur untuk mencapai stabilitas dan nilai tertentu.[2] Pelembagaan partai merujuk pada empat dimensi sistem institusionalisasi partai yang dikembangkan Mainwaring dan Scully (1995): Pertama, stabilitas kompetisi partai. Kompetisi partai yang tidak disertai institusionalisasi akan mempertinggi angka volatility dalam pemilu. Kedua, kedalaman akar partai dalam masyarakat. Partai memiliki wilayah pendukung utama yang tidak berubah setiap pemilu dan mempunyai ideologi yang mengikat. Akar partai dalam masyarakat ditentukan oleh program dan ideologi yang jelas dan dapat diterima masyarakat serta menyangkut hungungan antara partai dan pemilihnya. Lemahnya hubungan ideologi antara partai dan pemilih menjadi salah satu komponen yang memperlemah pengakaran partai di masyarakat. Ketiga, adanya legitimasi aktor-aktor politik terhadap partai. Mereka melihat partai sebagai sebah bagian yang penting dalam demokrasi. Keempat, partai dianggap terlembaga apabila organisasi kepartaian bukan merupakan subordinasi dari kepentingan pemimpin-pemimpinnya. Proses pelembagaan partai akan sangat dibatasi selama partai masih menjadi instrumen personal dari pemimpinnya.[3] Dari keempat dimensi tersebut. Tulisan ini hanya akan mengambil salah satu dimensi dari teori ini yaitu kedalaman akar partai dalam masyarakat.

Sedangkan pelembagaan partai menurut menurut Vicky Randall dan Lars Svasan adalah, proses pemantapan partai politik baik secara struktural dalam rangka mempolakan perilaku maupun secara kultural dalam mempolakan sikap atau budaya (the process by wich the party become established in terms of both integrated patterns on behaviour and of attitude and culture). Proses pelembagaan ini mengandung dua aspek yaitu aspek internal-eksternal, dan aspek struktural-kultural. Apabila kedua aspek ini dipersilangkan maka akan dihasilkan sebuah tabel empat sel, yaitu (1) derajat kesisteman (systemnes) sebagai hasil persilangan aspek internal dengan struktural. (2) derajat identitas nilai (value infusion) suatu partai sebagai hasil persilangan aspek internal dengan kultural. (3) derajat otonomi suatu partai dalam pembuatan keputusan (decisional autonomy) sebagai hasil persilangan aspek eksternal dan struktural. (4) derajat pengetahuan atau citra publik (reification) sebagai hasil persilangan aspek eksternal dengan kultural.[4]

Dimensi Kepartaian

Internal

Eksternal

Struktural

Kesisteman

Otonomi Keputusan

Kultural

Identitas Nilai

Citra pada Publik

Institusionalisasi atau pelembagaan partai akan ditentukan oleh profesionalisme dan pengelolaan partai. Tidak hanya ketika menjelang pemilu, tetapi juga menyangkut rutinitas kegiatan partai. Pengelolaan dan profesionalisme tersebut terdiri dari beberapa aspek penting kehidupan partai. Termasuk dalam hal ini adalah pembangunan ideologi dan kebijakan, aturan main, kekuasaan dan latar belakang sosial anggota partai dan pemimpinnya, rekruitmen dan candidate yang duduk di legislatif, serta proses marketing dari partai tersebut. Keprofesionalan dari para staff partai yang menjalankan fungsinya sehari-hari menjadi elemen penting dalam pelaksanaan aspek-aspek di atas.

Paul Webb dan Robin Kolodny mencatat tentang lingkup bagaimana partai yang profesional bekerja. Dibutuhkan staff yang profesional dalam menjalankan partai. Kampanye tidak hanya dilakukan ketika pemilu berlangsung, tetapi juga dilakukan secara berkesinambungan untuk membentuk dan mengartikulasi posisi konstituen. Efeknya, beberapa partai harus menjalankan pembagian fungsi-fungsi tertentu. Beberapa diantaranya adalah, rekruitmen dan nominasi candidate untuk pemilihan, melakukan penelitian terhadap kebijakan dan mempelajari strategi lawan politik dalam pemilu, pembangunan kebijakan, pengolaan dana untuk memenangkan pemilu, publikasi dan marketing kebijakan partai, mengukur opini publik dan mempelajari mobilisasi dukungan publik. Sedangkan jenjang atau tingkat profesionalisme tersebut bisa dibagi menjadi tiga yaitu amateurs yang terdiri dari anggota dan pekerja sukarela, profesional staff dan pengurus harian partai dan pada tinggat yang paling tinggi adalah konsultan profesional partai. [5]

Dari beberapa teori di atas, realitas dalam konteks Indonesia memancing timbulnya pertanyaan apakah partai-partai di Indonesia telah melakukan pengorganisasian dan pengelolaan partai dengan baik? Dan apakah partai-partai di Indonesia sudak bisa dikatakan terinstitusionalisasi?

Tulisan ini akan mencoba melacak permasalahan institusionalisasi partai dalam hubungannya dengan pengorganisasian dan profesionalisme dalam partai. Metode yang digunakan adalah membandingkan dua contoh partai dengan tipe dan ideologi yang berbeda yaitu PKS dan PDIP. Sengaja dipilih dua partai dengan tipe dan ideologi yang berbeda dengan maksud untuk lebih memperjelas perbedaan pengorganisasian antara keduanya sekaligus kelemahan-kelemahannya. PDIP bisa dikatakan sebagai partai masa sedangkan PKS merupakan partai kader. PDIP menarik untuk dianalisis karena merupakan partai lama yang telah banyak dikenal masyarakat. Sedangkan PKS sebagai partai baru berhasil menunjukkan eksistensisnya dalam pemilu 2004. Dari kedua contoh partai tersebut, akan menarik untuk mengatahui proses pengorganisasian berikut kelemahan-kelemahannya.

Beberapa aspek yang akan dilihat dari kedua partai tersebut adalah struktur AD/ART yang menggambarkan proses pengelolaan partai secara internal. Selain itu, tulisan ini juga akan melihat tingkat pelembagaan partai secara ekternal yaitu institusionalisasi partai dalam masyarakat. Dua contoh tersebut sebenarnya tidak cukup digunakan untuk membangun hipotesis bahwa partai-partai di Indonesia belum terinstitusionalisasi, namun dengan kedua contoh di atas, paling tidak bisa menggambarkan keadaan pelembagaan partai di Indonesia.

a. Pelembagaan Internal (AD/ART)

Pengelolaan partai akan terlihat dari adanya AD/ART yang mengatur tentang mekanisme penyelenggaran partai. AD/ART memuat aturan-aturan dasar yang telah disepakati bersama dan berfungsi sebagai pengikat antara anggota dan partainya. AD/ART juga memuat ideologi yang akan menentukan arah kebijakan partai.

PKS misalnya, jelas terlihat dari AD/ART pasal 5 yang menyatakan bahwa PKS adalah partai dakwah yang berasaskan Islam. Dari rekruitmen anggota dan pengkaderan, kader PKS berasal dari kelompok-kelompok kajian Islam kampus yang bergerak dalam bidang tarbiyah. Melalui sistem multi level dakwah, partai ini berusaha untuk melakukan kaderisasi. PKS memiliki jenjang keanggotaan mulai dari anggota pemula sampai anggota kehormatan. Demikian juga dengan PDIP yang merupakan partai berideologi nasionalis/kebangsaan. PDIP juga telah memiki jenjang keanggotaan mulai dari kader pratama (muda) di tingkat cabang sampai kader nasional untuk di tingkat pusat. PKS memiliki kurikulum pengkaderan yang sangat rinci. Mulai dari dasar keislaman, dasar kepartaian, sampai ketrampilan dan pemahaman terhadap program-program DPC. Proses pembinaan yang dijalankan kaum tarbawi telah membedakan out put dari proses tersebut dengan gerakan Islam lainnya. Demikian halnya dengan PDIP. Melalui sistem kaderisasinya diharapkan mampu menghasilkan kader partai dan kader profesional yang dipersiapkan untuk duduk di lembaga-lembaga pemerintahan. Beberapa aspek profesionalisme pengelolaan partai seperti yang disampaikan oleh Webb nampaknya juga telah diatur secara rinci oleh kedua partai ini.

Meskipun demikian, tetap saja terdapat kelemahan-kelemahan yang menunjukkan pola yang kurang lebih sama dalam struktur kepengurusan. DPP ditempatkan sebagai pemegang kewenangan eksekutif tertinggi untuk melaksanakan keputusan kongres atau muktamar partai. Meskipun keputusan tertinggi terletak pada kongres atau muktamar, namun pada kenyataan DPP lah yang menjalakan kendali partai sehari-hari.

Salah satu contoh wewenang yang sangat besar dari DPP adalah adanya hak prerogatif ketua umum PDIP untuk: “melakukan tindakan strategis dan organisatoris bilamana dianggap perlu utnuk mempertahankan eksistensi partai, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, NKRI.” Pada kenyataannya, hak prerogatif seperti ini sering dipakai untuk memecat anggota-anggota yang tidak sejalan dengan pemikiran si Ketua partai.

PKS dalam AD/ARTnya menggambarkan adanya wewenang yang sangat besar dari Majelis Syuro’ sebagai salah satu lembaga pengawas DPP. DPP diwajibkan untuk membuat laporan kerja setiap dua bulan sekali. Ini merupakan kewajiban yang jauh lebih ketat daripada mekanisme Pertanggungjawaban setiap lima tahun sekali pada Kongres partai. Namun, PKS tidak menggariskan adanya mekanisme kontrol terhadap Majelis Syuro’ kecuali mekanisme pemilihan raya yang diikuti oleh semua kader inti partai yang dilaksanakan untuk memilih anggota Majelis Syuro’.

Kelemahan lain dalam AD/ART yang juga hampir sama dari kedua partai ini adalah, tidak dijelaskannya mekanisme pemilihan internal partai. Mekanisme pemilihan internal partai merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan keanggotaan semua lembaga atau jenjang kepengurusan dalam partai. Kedua partai ini sama-sama hampir tidak memiliki pengaturan yang rinci mengenai mekanisme atau sistem pemilu internal partai. Tidak terdapat penjelasan mengenai mekanisme seperti penetapan persyaratan calon, nominasi calon, verifikasi persyaratan calon, sistem pemungutan suara sampai penetapan pemenang. Mekanisme ini diserahkan kepada peraturan yang lebih rendah daripada AD/ART sehingga lebih bersifat ad hoc dan mudah diubah-ubah sesuai dengan kepentingan.

AD/ART seharusnya memuat segala sesuatu sampai hal yang paling kecil untuk melaksanakan mekanisme pengorganisasian yang baik. Meskipun hampir memiliki kesamaan dari kedua contoh di atas, dalam implementasinya, PKS nampaknya lebih memiliki komitmen pengorganisasian dan pengelolaan partai yang lebih baik daripada PDIP. Hal ini dibuktikan dengan perkembangannya ketika pada pemilu 1999 PKS hanya memperoleh 1,36% sedangkan dalam pemilu 2004, PKS berhasil mendapat 7,34% suara. Hal ini berbalik dengan keadaan PDIP yang pada pemilu 1999 memperoleh 33,74% suara, sedangkan pada pemuli 2004 turun sampai 18,53%.[6] Dalam hal ini, PKS mampu melakukan pengorganisasian dan pembanguan internal partai secara cepat sehingga bisa mencapai peningkatan jumlah suara yang cukup signifikan.

Peningkatan jumlah suara yang cukup signifikan dari PKS bersumber pada pengorganisasian yang sistematis dan profesionalisme pengurus harian partai. Partai ini terus menaburkan kredibilitasnya malalui slogan bersih dan peduli. Sedangkan profesionalisme kader merupakan jaminan terbesar karena sebagian kader berasal dari lingkungan menengah dan bisanya melakukan aktivitas seperti dakwah kampus. Setiap kader PKS memiliki komitmen untuk membentuk jamaah yang islami. Pembentukan jamaah ini dimulai dari pembentuka pribadi yang saleh, keluarga yang sakinah, jamaah yang solid dan hingga dengan sendirinya terbentuk negara yang kokoh dan beriman.[7] Melaui mekanisme dan komitmen membentuk pemerintahan yang bersih seperti inilah keporofesionalan kader dikembangkan.

Sedikit berbeda dengan PDIP, meskipun kaderisasi dan manajemen partai telah dilakukan, hal ini tidak dijalankan secara periodik dan berkesinambungan. PDIP tidak melakukan tindak lanjut dengan penerapan jaringan organisasi, pembenahan daftar anggota menurut cabang, ranting dan anak ranting, berikut penerbitan kartau anggota. Kurang tersistemnya menajemen tersebut seharusnya bisa diatur dalam AD/ART dan dilaksanakan oleh kader dan pengurus partai yang profesional. Kegagalan dalam pemilu 1999 dan 2004 harus menjadi bahan evaluasi dan instropeksi bagi elit partai agar bisa kembali memenangkan suara pada pentas pemilu 2009.

b. Pelembagaan Eksternal (Pelembagaan Partai dalam Masyarakat)

Ramlan Surbakti menuliskan kelemahan-kelemahan partai di Indonesia yang meliputi ketidakjelasan ideologi, pengelolaan partai dan yang terakhir adalah pola pertanggungjawaban partai. Kelemahan yang teakhir ini merujuk pada hubungan partai dalam masyarakat. Dalam hal ini,banyak partai di Indonesia yang belum mengakar di masyarakat. Apalagi euforia reformasi banyak memunculkan partai kagetan yang hanya berbasis pada sekelompok orang tertentu dan tak dikenal masyarakat secara luas. Mainwaring juga mengatakan bahwa partai bisa disebut terlembaga apabila memiliki akar dalam masyarakat. Hal inilah yang seharusnya menjadi fokus utama partai mengingat bahwa masyarakat merupakan basis partai yang paling utama. Sudah selayaknya partai menyadari fungsi utamanya yaitu sebagai representasi kepentingan masyarakat.

Ideologi dan program partai merupakan salah satu tali pengikat antara pemilih dan partai. Pemilih mengetahu partai mana yang mempunyai program dan ideologi yang merepresentasikan kepentingan mereka. Ketika terdapat hubungan ideologi dan program yang tidak merepresentasikan kepentingan pemilih, maka pemilih akan cenderung berpindah dari partai satu ke partai yang lain atau biasa disebut floating voters.

Proses pelembagaan partai dalam masyarakat membutuhkan proses yang berkelanjutan. Tidak hanya melakukan kampanye sebelum pemilu melainkan partai harus bisa menunjukkan eksistensi dan keberadaannya secara kontinyu dalam masyarakat. Institusionalisai partai dalam masyarakat dimaksudkan untuk mengetahui derajat pengetahuan publik tentang partai dan pembentukan citra partai dalam masyarakat melalui ideologi dan proram yang ditawarkan.

PKS telah menunjukkan komitmen tersebut dengan banyak melakukan usaha-usaha meraih dukungan masyarakat dengan platform partai yang bersih dan peduli. PKS yang tergolong partai baru mampu menunjukkan konsolidasi yang baik dalam pengorganisasian partainya. Meskipun tidak memiliki figur khusus seperti Partai Demokrat dengan SBY atau PDIP dengan Megawatinya, partai ini tetap mendapat simpati dari masyarakat. Partai ini juga tidak berusaha untuk berafiliasi dengan organisasi massa atau agama yang sebelumnya telah mengakar kuat di Indonesia. Inilah salah satu keunikan PKS. Untuk itu, partai ini harus bekerja keras agar akarnya bisa tertanam kuat di masyarakat. Kerja mereka membentuk citra di masyarakat bisa dilihat dari keprofesionalan para anggotanya dan sosisalisasi yang terus menerus dilakukan ditambah dengan kuatnya jaringan. Di tingkat parlemen, publik mengenal anggota partai yang tampil sederhana, bersih dan paling sulit menerima suap.[8]

Untuk aksi masa PKS cenderung lebih konkret melalui aksi turun ke lapangan. Beberapa usahannya adalah saat terjadi gempa dan gelombang tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 lalu, PKS di seluruh tanah air mendirikan posko bantuan. PKS juga memberangkatkan 1.632 orang relawan dan dokter ke lokasi bencana. Selain itu, PKS juga sering menggelar pengobatan gratis maupun donor darah di tengah biaya rumah sakit yang sedang mahal-mahalnya.[9] Untuk menghindari kesan eksklusif karena ideologi islamnya yang kental, PKS mencoba beberapa strategi untuk tetap bisa menarik simpati masa. Lembaga pendidikan merupakan ikon utama PKS. Melalui lembaga pendidikan Islam Terpadu pada berbagai tingkat, orang luar bisa secara bertahap mengenali visi dan misi komunitas PKS dalam bentuknya yang konkret. Melalui lembaga pendidikan ini yang sebagian besar dikelola para aktivis partai atau minimal orang-orang yang memiliki jaringan kerja dengan partai, PKS memiliki semacam onderbouw untuk menggerakkan isu serta masa. Melalui lembaga pendidikan ini, komunitas pendukung PKS seakan mengirimkan pesan atau visi dan misi politik mereka pada isu-isu sentral seperti tidak ada sekularisme dalam islam.[10] Menghilangkan kesan ekslusif ini juga dilakukan PKS dengan tidak membawa simbol-simbol agama dalam pelaksanaan setiap kegiatannya.

Proses pelembagaan partai di masyarakat yang dilakukan PKS tidak hanya melalui strategi-strategi di atas, tetapi juga tercermin dari tindakan kader-kader PKS secara pribadi. Misalnya saja menempelkan stiker partai di motor atau mobil mereka. Dari segala sikap dan perilaku profesional para kadernya sehari-hari, PKS berhasil mendapat citra yang baik dari masyarakat. Masyarakat bisa langsung melakukan justifikasi terhadap partai hanya karena melihat perilaku para kader dan pendukungnya Hal-hal kecil seperti inilah yang kadang terabaikan dalam pelembagaan partai-partai lain di Indonesia.

Usaha menguatkan akar partai di masyarakat seperti yang dilakukan PKS nampaknya sangat kontras dengan pelembagaan partai PDIP. Partai ini lebih sibuk dengan konflik elit partainya daripada mengurusi pelembagaan partai di masyarakat. Partai ini hanya mengandalkan kharisma pemimpinnya, yaitu Megawati untuk mendapatkan dukungan masa. Meskipun telah memiliki basis masa yang setia seperti Bali, namun apabila basis ini tidak dijaga dengan baik, PDIP bisa mengulangi kegagalannya dalam pemilu 2009 nanti. Ada semacam pergeseran budaya politik masyarakat saat ini. Pemilih tidak sebodoh sebagaimana yang dipikirkan para elit partai. Pola dukungan pemilih sekarang ini tidak hanya semata-mata berdasarkan basis kultural atau primordial belaka. Profesionalisme juga tidak ditunjukkan oleh para anggota partai untuk membangun citra di masyarakat. Perilaku para kader partai ketika kampanye misalnya, lebih menunjukkan budaya yang urakan daripada budaya politik yang santun dan demokratis. Pola kepemimpinan tradisional dengan mengandalkan kharisma pribadi tampaknya sudah tidak terlalu berpengaruh terhadap masyarakat. Apalagi pola kepemimpinan tradisional model PDIP di bawah Megawati kurang didukung profesionalisme dan kinerja politik yang menjanjikan masa depan yang lebih sejahtera bagi konstituen (pemilih).[11]PDIP tidak mempunyai strategi khusus untuk menjaring masa sehingga banyak masa yang meninggalkan partai ini. Hal ini dikarenakan kurangnya kader-kader profesional. Meskipun terdapat pengorganisasian yang solid di level pusat, apabila tidak didukung kader-kader profesional, partai ini akan semakin kahilangan pendukung.

3. Kesimpulan dan Rekomendasi

Proses pelembagaan partai di Indonesia sebenarnya telah dilakukan baik secara internal maupun secara eksternal. Secara internal, AD/ART partai telah mengatur pola pengelolaan partai. Namun masih terdapat kelemahan antara lain karena tidak ada rincian yang jelas tantang demokratisasi internal partai yang menyangkut proses pemilihan—dan masih adanya peraturan yang membuat badan internal tertentu dalam partai menjadi dominan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan partai. Hal inilah yang menghambat proses pelembagaan partai dalam hubungannya dengan otonomi keputusan. Pelembagaan secara eksternal juga telah dilakuakan melalui sebuah ikatan yang berupa ideologi dan program partai. Tetapi nampaknya proses inipun banyak menghadapi hambatan. Salah satunya adalah kerena kurangnya profesionalisme dalam pengelolaan suara konstituen dan kurangnya profesionalisme para kader partai untuk mencari simpati masyarakat dan menjaga citra partai.

Dari uraian di atas, PKS bisa dikatakan lebih terorganisasi dan terlembaga daripada PDIP dilihat dari pengorganisasian partai baik secara internal maupun eksternal. Elemen yang sangat mendukung keberhasilan PKS adalah profesionalisme para kadernya. Profesionalisme pengelolaan sangat mempengaruhi pelembagaan partai. Tanpa profesionalisme maka proses pelembagaan partai tidak akan memenuhi harapan.

Terlalu ekstrim apabila dikatakan bahwa partai-partai di Indonesia belum terinstitusionalisasi. Namun terlalu jauh panggang dari api apabila dikatakan pula bahwa partai-partai di Indonesia sudah terinstitusionalisai. Jadi bisa disimpulkan bahwa partai di Indonesia sedang dalam proses pelembagaan. Masih banyak yang harus diperbaiki baik itu menyangkut perbaikan internal partai maupun proses bagaimana partai bisa mengakar dalam masyarakat. Peningkatan profesionalisme tak bisa dilepaskan dari proses reformasi kepartaian dalam rangka pelembagaan tersebut. Reformasi yang tidak hanya dalam lingkup internal dan eksternal tetapi juga struktural dan kultural.

Perbaikan dalam rangka pelembagaan partai bisa dilakukan dengan reformasi AD/ART, dimana peraturan yang dibuat harus mengatur segala sesuatu sampai hal yang terkecil dalam pengelolaan partai, termasuk mekanisme pemilihan dan peraturan yang dimaksudkan untuk menjaga otonomi keputusan. Selain itu, perlu adanya profesionalisme dalam pengelolaan yang menyangkut pola rekruitmen, penempatan kader yang berjenjang dan nominasi kandidat, komitmen ideologi dan perbaikan program yang merepresentasikan kepentingan rakyat, serta adanya komunikasi secara berkesinambungan untuk menjaga hubungan antara partai dan konstituennya. Peningkatan kompetensi para kader juga diharapkan mampu memperkuat akar partai dalam masyarakat dalam sosialisasi dan penyampaian visi misi partai.

Semoga proses pelembagaan partai di Indonesia segera sampai pada tujuannya, dimana partai bisa benar-benar menjalankan fungsinya sebagai partai dan membantu konsolidasi demokrasi di negeri ini.


Referensi

Edward, Djony., 2006, Efek Bola Salju Partai Keadilan Sejahtera. Bandung: Syaamil.

Katz, Richard. S dan William Crotty (editor)., 2006, Hand Book of Party Politics, London: Sage

Surbakti, Ramlan., 2002, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo.

Swantoro FS., 2005, Perseteruan di Balik Kongres PDI-P. Suara Karya: 27 Maret.

http://www.mail-archive.com/proletar@yahoogroups.com/msg06424.html

Nasiwan, 2006, Eksperimentasi Islam Politik: Fenomena PKS di DIY dalam Demokrasi dan Potret Lokal pemilu 2004. Salatiga:Pustaka Percik.

Randall, Vicky dan Lars Svasan, dalam Jurnal Party Politics, Vol. 8, no.1. Januari 2002.



[1] Surbakti, Ramlan., Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 2002)

[2] Huntington, Samuel. Political Order in Changing Societies. (New Haven: CT. Yale University Press, 1968) dalam Mainwaring, Scott dan Mariano Torcal. Party System Institutionalization and Party System Theory After the Third Wave of Democratization. (London: Sage, 2006)

[3] Mainwaring, Scott dan Mariano Torcal. Party System Institutionalization and Party System Theory After the Third Wave of Democratization dalam Katz, Richard. S dan William Crotty (editor). Hand Book of Party Politics, (London: Sage, 2006), hlm 206-207

[4] Randall, Vicky dan Lars Svasan, dalam Jurnal Party Politics, Vol. 8, no.1. Januari 2002

[5] Webb, Paul and Robin Kolodny, Professional Staff in Political Parties dalam Katz, ibid hlm. 337-338

[6] sumber: Sumber Pengumuman Penetapan hasil Pemilu Legislatif KPU 5 Mei 2004 (saksi No. 16 Tahun VI 9 Juni 2004).

[7] Edward, Djony. Efek Bola Salju Partai Keadilan Sejahtera. (Bandung: Syaamil, 2006). Hlm. 21

[8] Artikel berjudul, “1001 Alasan pilih PKS”, lembar sisipan DEMOS, lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi. (Tempo, 23 Januari 2005)

[9] Edward, op.cit. hlm xxiv

[10] Nasiwan, Eksperimentasi Islam Politik: Fenomena PKS di DIY dalam Demokrasi dan Potret Lokal pemilu 2004. (Salatiga:Pustaka Percik, 2006) hlm.92

[11] Swantoro FS.,Perseteruan di Balik Kongres PDI-P. Suara Karya:27 Maret 2005. http://www.mail-archive.com/proletar@yahoogroups.com/msg06424.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar