Bertemu dengan Para Pengarang lagi..
27 Agustus 2008, pukul 15.00 WIB
Taman Budaya Yogyakarta.
Sebuah diskusi sastra dengan tema: Puisi sebagai Media Komunikasi
Demi mengikuti diskusi kali ini, saya rela mengayuh sepeda sampai Taman Budaya sepulang kuliah. Ternyata memang tak sia-sia.
Sedikit berbeda dengan biasanya. Pertemuan dengan pengarang kali ini lebih bernuansa emosional. Entah bagaimana, ada sedikit desir perasaan aneh tiba-tiba muncul. Secuil kekaguman yang tercemin dari decakan perlahan. Orang-orang dengan kelemahan seperti mereka ternyata memilki kekuatan yang tak dimiliki oleh kita sebagai orang normal. Pada umumnya, mereka memiliki motivasi sedemikian tinggi. Adalah tuna netra yang bisa merangkaikan kata menjadi keindahan bait-bait puisi. Mereka berkomunikasi dengan hati, melalui telinga, lewat kata-kata meskipun tanpa pandangan mata. Keindahan demi keindahan telah tercipta. Senja ini membuat saya sedikit tersadar. Ternyata ada yang lebih dari sebuah kekurangan. Dari seorang pengarang tuna netra bernama Irwan Dwi Kustanto. Saya belajar untuk mensyukuri kelemahan. Tak seberapa penderitaan dan keluhan yang telah menganak sungai daripada apa yang berada di pundak mereka. Kadang saya memang terlalu melebih-lebihkan penderitaan dan kesakitan dalam kehidupan. Hingga yang hanya debu sebutir ini tampak menjadi segunung pasir.
Keindahan kata-kata dalam puisi Irwan menjadi salah satu inspirasi bagi dua orang pemusik muda bernama Reza dan Endah. Mereka membuat musikalisasi puisi dari karya-karya Irwan yang tergabung dalam antologi puisi “Dan Angin pun Berbisik”. Sebelum diskusi dimulai, ditampilkan sebuah pembacaan puisi oleh seorang anak perempuan tuna netra bernama Ayu. Ia membaca salah satu puisi Irwan yang berjudul ‘Tongkat Putih’. Puisi itu berakhir dengan kalimat, “Pada cerita tongkat putihku selalu ada harapan.” Gadis ini benar-benar bisa memukau hanya dengan suara mungilnya dan aliran kalimat-kalimat dalam puisi yang sangat dihayati.
Gambaran puisi-puisi Irwan merupakan proses kreatif pembuatan karya yang berasal dari jeritan dan suara hati. Puisi tersebut menjadi respon terhadap kondisi emosi yang ada. Karya-karyanya ditulis mangalir begitu saja dengan jujur, meskipun ada beberapa karya yang proses pembuatannya agak memakan waktu lama. Berbagai puisinya merupakan hasil dari perbedaan antara harapan dan kondisi sebenarnya. Kondisi dikecewakan, didiskriminasikan banyak pihak, namun juga mengandung kegembiraan. Melalui puisi, Irwan bisa membantu banyak orang. Irwan berusaha untuk mengkomunikasikan perasaannya dalam bentuk yang universal seperti puisi.
Beberapa puisinya lahir ketika ia menggunakan puisi sebagai media berkomunikasi dengan keluarga yang sangat dicintai. Istri dan seorang anaknya. Mereka dipisahkan oleh jarak. Irwan tinggal di Jakarta, sementara istri dan anaknya berada di Tulung Agung. Saat pulang ke rumah, ada suatu kebiasaan dalam keluarga Irwan. Masing-masing akan membacakan puisinya di sebuah beranda sambil menikmati senja. Seperti inilah kreatifitas Irwan berproses. Tak banyak buku sastra yang dibacanya dan memang ia tak pernah bisa membaca. Sebagian referensi hanya dibacakan orang untuknya. Dan hasilnya begitu luar biasa.
Seorang akademisi dari Fakultas Ilmu Budaya UGM menjadi salah satu pembicara dalam diskusi kali ini. Paparannya diawali dengan penjelasan mengenai puisi sebagai media komunikasi verbal. Berbagai bentuk komunikasi verbal memiliki perbedaan-perbedaan. Komunikasi lewat koran—sebuah pemberitaan bisa dicek kembali kebenarannya. Berbeda dengan puisi. Sebuah ungkapan ‘angin menampar wajahku’. Kalimat dalam puisi tersebut tentu saja tidak bisa di cek kembali kebenarannya. Tentu saja angin tidak bisa menampar karena tidak punya tangan. Angin dalam puisi bisa jadi berbeda dengan angin yang dimaksudkan seorang ahli fisika. Angin adalah udara bertekanan plus yang mengalir ke tekanan minus. Menurut saya, ini sebuah pembedaan yang aneh.
Bahasa puisi menjadi sangat personal. Puisi memiliki bahasanya sendiri. Lalu, dipaparkan sebuah cerita tentang Theresias dalam Oedipus Rex. Ia adalah seorang yang tidak bisa melihat namun dituduh melakukan sesuatu. Theresias menjawab, “aku memang tidak melihat tetapi hatiku.” Tampaknya ini juga yang berusaha untuk dilakukan Irwan dalam penciptaan puisi-puisinya. Ia memang tidak melihat sesuatu tapi seolah-olah ia memang malihat sesuatu itu. Melihat dengan hatinya.
Puisi sebenarnya lebih dekat dengan nyanyian. Puisi memiliki ritme dan irama yang menjadi salah satu unsur penting dalam penggunaan diksi. Ritme tersebut memiliki rasa, marangsang untuk bersenandung. Puisi “Aku” saat Bintang Radio dan Televisi masih jaya bisa dijadikan seriosa. Demikian juga dengan puisi liris karya Kirjo Mulyo, pengarang tahun 1950-an berjudul “Puisi Rumah Batu”. Puisi ini sangat ritmis dan indah sehingga bisa digubah menjadi lagu oleh Fx. Soetopo. “Di sini aku temukan kau / di sini aku temukan daku / di sini aku temukan kau / terasa hati tak merasa sendiri / pandangilah daku / aku bicara dengan jiwaku//”.
Kekuatan puisi terletak pada ritmenya. Sekarang, banyak puisi yang berisi protes sosial seperti puisi-puisi Rendra, ‘Bersatulah Pelacur-Pelacur Ibu Kota’. Puisi menjadi alat komunikasi, memberi informasi dan pada akhirnya bisa merangsang kesadaran. Antologi puisi Irwan terdiri dari puisi-puisi dengan ritme dan metafora yang mengungkapkan pengalaman pribadi. Pak Bakdi menduga kalau Irwan banyak membaca karya puisi. ‘Kudengar di balik senja’ merupakan salah satu contoh kalimat dengan ritme yang indah. ‘pada angin yang berbisik di telinga / mungkin suaraku tak kau dengar lagi//.’
Lalu sebuah puisi lagi berjudul ‘Cintaku Padamu’. “Cintaku padamu / adalah sungai berbatu/…..” Pak Bakdi mengira bahwa Irwan memaknai cinta sebagai sesuatu yang terjal seperti sunagi berbatu. Berkelok-kelok, dan sebagainya. Lalu, Pak Bakdi meneruskan penjelasannya dengan membacakan larik-larik cuplikan dari Puisi Irwan yang dirasanya sangat indah. Selalu pujian keluar dari pengungkapannya. “Wah, ini luar biasa, puisi yang sangat indah.” Selalu seperti itu yang dikatakannnya.
***
Sambil mendengarkan Pak Bakdi yang sibuk menghakimi Irwan, saya lebih tertarik pada suasana dan orang-orang yang duduk membentuk setengah lingkaran di depan para pembicara.
Di sela diskusi, banyak peserta yang baru datang setelah acara dimulai. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang tuna netra. Bapak-bapak ini datang diantarkan para istri yang selalu setia menemani. Para istri dengan penuh kasih sayang menggandeng tangan suaminya. Dengan sabar ia menunggui sang suami saat perlahan-lahan melepas kedua alas kakinya, lalu mulai meraba-raba dimana ia akan duduk dengan bantuan istri mereka. Dengan sangat hati-hati, sang istri membantu suaminya duduk, juga membenarkan arah duduk yang melenceng dari hadapan para pembicara. Sang suami rasanya tidak membutuhkan tongkat lagi. Tangan kanannya memegang sebuah tape recorder untuk merekam hasil diskusi.
Saya jadi mebanyangkan bagaimana mereka melakukan semua kegiatan rumah tangga. Benarkah perempuan-perempuan ini begitu mencintainya, sehingga rela menjadi pelayan setia bagi suaminya? Ada semacam keraguan tetapi juga kesan haru. Bagaimana mereka manjalani keseharian mereka? Apa pekerjaan para suami ini? dan seperti apakah peran istri meraka? Apakah mereka menikah dengan suami yang dalam keadaan buta? Sedalam apakah keikhlasan para isti ini menerima suami mereka dengan apa adanya? Bagaimana dengan persepsi dari anak-anak meraka? Apakah masih menyayangi bapaknya yang buta? Banyak pertanyaan hinggap lalu bercabang-cabang sedemikian banyak. Seharusnya saya bertanya lansung kepada para istri ini. Tapi kesempatan belum mengizinkan. Barangkali suatu saat saya bisa dipertemukan dengan mereka lagi.
Pandangan saya tak begitu saja berhenti pada pasangan-pasangan dengan suami tuna netra. Perempuan-perempuan yang sama-sama bersuami tuna netra tersebut masih sibuk berbincang. Mungkin enggan mendengarkan Pak Bakdi berbicara. Lebih asyik bertukar pengalaman bagaimana mengurus suami dengan segala keterbatasannya. Puas berimajinasi dengan para istri, mata saya beralih pada gadis kecil yang membacakan puisi di awal acara tadi. Tepatnya bukan membacakan tapi berdeklamasi karena gadis kecil itu memang sudah hapal di luar kepala tentang puisi yang dideklamasikannya tadi.
Gadis kecil itu berwajah mungil. Tubuh kecilnya dibalut busana muslim berwarna biru laut. Ia mengenakan selembar jilbab putih sebahu. Kaki kecilnya terbungkus sepasang kaus kaki putih dengan kedua ujungnya berwarna hitam. Selintas terlihat bayangan. Dari matanya yang berkedip perlahan. Tak pernah ada lintasaan warna, mungkin hanya hitam. Bola matanya bergerak-gerak ke kanan dan kekiri tapi tak selintas bayangan pun bisa ditangkap oleh kedua mata itu. Suaranya mungil mengucap kata-kata, terdengar samar. Lalu ia meluruskan kedua kakinya. Berceloteh dengan riang seakan lupa bahwa ia tak pernah melihat warna dunia. Ketika ditanya, gadis kecil itu kelak ingin menjadi seorang pemusik. Barangkali, ia akan mewarnai dunianya sendiri melalui nada-nada.
Orang-orang di sekitar saya ini memang luar biasa. Masih banyak lagi para pengunjung buta yang tak menyerah pada kebutaannya. Sebagian dari mereka adalah perempuan-perempau berjilbab. Membawa tongkat yang bisa ditekuk-tekuk hingga menjadi sepanjang pena. Mereka memilih untuk tetap menjalani kehidupan betapapun sulitnya. Mereka memilih untuk berjuang dengan setiap batang tongkat yang menunjukkan arah kepada mereka. Bahwa memang masih ada harapan, mereka bahkan bisa lebih baik dari mereka yang sempurna tapi tak pernah menggunakan potensi yang ada dalam dirinya. Saat pemerintah dan kebanyakan orang tak ada yang mau peduli dengan masa depan mereka, ternyata masih ada beberapa orang yang rela mengabdikan diri untuk membantu sesama. Mereka mendirikan sebuah perpustakaan braile sendiri. Lalu belajar menggunakan komputer dengan keyboard braile, membuat kerajinan tangan dan berbagai aktivitas lainnya. Mereka mengusahakan untuk tetap mengisi kehidupan dengan hal yang bermanfaat. Seakan tak mau membuang usia dan ingin terus memaksimalkan potensi yang ada pada setiap diri mereka.
Si kecil tadi pergi dengan seorang perempuan yang sedari tadi terus berada di sampingnya. Barangkali juga ia adalah ibunya. Beberapa saat kemudian ia telah kembali lagi. Tetap dengan keriangan yang tak pernah pergi dari wajah mungilnya.
Hal yang luar bisa saya temukan di sini. Dari mereka yang buta. Dari mereka yang lebih memandang dunia dengan hatinya. Barangkali ini juga terlalu berlebihan. Tapi, biarlah saya sejenak mengungkapkan kekaguman saya. Entah bagaimana kalau saya yang jadi mereka. Tak terbayangkan dan begitu menakutkan berada dalam kegelapan.
***
Kembali pada diskusi. Imajinasi telah kembali menyentuh bumi setelah lelah berada di awang-uwung. Pak Bakdi telah selesai beranalisa dengan puisi-puisi Irwan. Kali ini tiba giliran para pemusik muda untuk bicara, merekalah yang mengaransemen puisi Irwan menjadi lagu-lagu yang sangat indah. Namanya Reza dan Endah. Keduanya adalah pemusik muda berbakat. Mereka orang-orang muda yang peduli terhadap keindahan karya puisi. Ada persamaan antara puisi dan musik. Setiap kata memiliki artikulasi tersendiri. Kata-kata selalu mempunyai rima dan ritme sehingga sangat memungkin untuk menggubah puisi menjadi lagu. Meskipun demikian, tentu saja tidak semua puisi bisa dibuat lagu.
Sang pengarang mendengarkan penjelsan dari kedua pemusik muda tersebut dengan penuh penghargaan. Karena merekalah, karyanya bisa lebih dikenal dari sebelumnya. Antologi puisi menjadi sebuah album kompilasi dengan aransemen musik kreatif dan indah. Kedua matanya tak memandang kedua pembicara. Entah menerwang menuju kemana. Tapi Irwan adalah sosok pengarang sederhana. Dalam diskusi itu, ia hanya mengenakan kaos kuning dengan tulisan “Djogdja” di bagian dadanya. Celananya berwarna hitam dan berikat pinggang. Dari busananya, Irwan adalah seorang pengarang yang mapan. Pengarang yang “lurus-lurus” saja. Puisinya adalah bait-bait sederhana. Jujur dan tidak nyeleneh dengan kata-kata yang sulit dimengerti. Puisinya hanya berasal dari puncak kerinduannya, cinta kepada keluarganya. Kata-kata dalam puisinya masih berkutat pada nuansa-nuansa alam penuh suasana kerinduan.
Irwan terinspirasi ketika menggeluti puisi-puisi Iqbal. Ia memili rekaman lengkap dari buku-buku Iqbal dan didengarkannya berulang-ulang. Selain itu, Irwan juga terinspirasi oleh Hujan Bulan Juni-nya Sapardi. Buku-buku itu sebagian besar dibacakan oleh orang lain untuknya. Sebuah kekuatan emosi yang kemudian melahirkan interpretasi-interpretasi. Puisi adalah dirinya sendir. Lepas. Irwan telah berhasil masuk dalam emosi dan pikiran-pikiran orang. Puisi itu berjalan dengan nyawanya sendiri. Puisi menjadi instrumen dan media untuk mengubah pola pikir. Kembali pada pikiran yang bersih.
Irwan akan terus berjalan dengan puisinya. Demikian halnya dengan para kritikus sastra yang suka iseng terhadap karya orang. Suatu saat Irwan bertemu dengan Maman S. Mahayana. Maman berkata kepadanya bahwa puisi setidaknya harus jujur. Irwan dapat mencipta dan menggambarkan matahari dalam pusisnya. Tapi pada kenyataannya, ia tidak dapat melihat matahari itu. Irwan memang tidak pernah melihat matahari. Tetapi ia bisa merasakan apa yang dikatakan orang tentang matahari. Demikian halnya ketika ia mencipta kata ‘lembar merah jambu’ pada puisinya. Irwan memang tidak pernah melihat warna merah jambu. Namun, ia menggunakan hatinya untuk merasakan warna merah jambu yang kata orang adalah warna yang lembut penuh cinta. Ia menggunakan kata itu untuk mengungkapkan lembaran emosinya ketika cemburu pada surat yang dituliskan istrinya untuk laki-laki lain.
Puisi memang menimbulkan banyak penafsiran. Pak Bakdi menafsirkan sungai berbatu sebagai jalan terjal yang dilalui penyair. Bagi Irwan, sungai berbatu itu snagat indah. “Air bisa mencari jalannya sendiri. Air tetap akan mengalir ketika ia terantuk pada batu. Ia bisa mengalir untuk terus maju. Lalu, mengapa saya tidak?” begitu kata Irwan menanggapai komentar Pak Bakdi tentang sungai berbatu. Irwan kemudian malanjutkan, “Saya memandang kebutaan sebagai suatu keriangan hidup. Ketika tongkatku patah, terlindas mobil, maka saya akan membangun trotoar sendiri. Kalaupun pemerintah tidak menyediakan buku untuk kami, maka kami yang akan membuatnya sendiri.”
Tuna netra sebenarnya adalah orang-orang luar biasa. Mereka memiliki kerja sinestesia yang sangat bagus. Ada wilayah-wilayah baru yang disebut tera incognita—suatu wilayah baru yang belum dikenali. Satu hal yang tak pernah mati adalah imajinasi. Luar biasa bagi tuna netra, setiap hari mereka melakukan realisasi terhadap imajinasi-imajinasi tersebut.
Seorang peserta diskusi mengajukan pertanyaan. Namanya Inung. Ia seorang dengan kursi roda. Wajahnya menampilkan sosok yang eksentrik dengan nuansa seni. Ia bertopi mirip Putu Wijaya dengan jambang tipis menghiasi wajahnya. Suaranya sangat berat. Pertanyaannya terkait dengan lagu berjudul “imagine”. Apakah lagu tersebut dapat dikatakan musikalisasi puisi atau puisisasi musik. Dari mana kedua hal tersebut berangkat?
Waduh, saya harus pulang. Sudah sore, takut kemalaman karena saya harus ngepit sampai kost-an. Nanti malam sebenarnya akan digelar pentas musikalisasi puisi-pusis Irwan. Mau bagaimana lagi? Kepengen nonton tapi ya nggak mungkin. Sudahlah, saya relakan saja keindahan sastra beradu nada malam nanti.
Seorang penyair itu utuh. Memang kerjaan orang akademis saja yang suka memisah-misahkan dengan teori-teori mereka. Memang orang suka membeda-bedakan sesuatu. Padahal ketika dicari akarnya, sebenarnya perbedaan tersebut adalah satu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar