Kamis, 11 Desember 2008

Kemiskinan: Berawal dari Kelembagaan dan Kebijakan

Kemiskinan: Berawal dari Kelembagaan dan Kebijakan

Oleh: Ratna Puspita Dwipa Nugrahhani / 21856

Pendahuluan:

Kemiskinan dalam Perspektif Institusionalisme

Kemiskinan merupakan salah satu realitas sosial yang bisa dikaji dengan pendekatan institusionalisme meskipun tidak bisa menjelaskannya realitas ini secara keseluruhan. Melalui pendekatan ini, kemiskinan bisa dilihat dari salah satu sisi yaitu kemiskinan sebagai produk kebijakan kelembagaan yang dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Secara normatif, lembaga pemerintah memiliki tujuan untuk mensejahterakan rakyatnya. Namun dengan tingginya angka kemiskinan saat ini, tujuan normatif lembaga pemerintah justru tidak tercapai. Rakyat dengan pendapatan tertentu yang kemudian dibeli label miskin ini bisa dikatakan sebagai korban kebijakan pemerintah yang tidak tepat sasaran dan justru menyengsarakan.

Kajian tentang kelembagaan tetap mempunyai peranan yang penting dalam kajian ilmu politik dan sosial khususnya yang berkaitan dengan kemiskinan. Meskipun muncul banyak kritik terhadap pendekatan ini, institusionalisme menjadi penting untuk melihat bagaimana sebuah lembaga dalam hal ini pemerintah, menghasilkan produk-produk kebijakannya dan memperlihatkan dampaknya bagi masyarakat. Pemerintah sebagai sebuah institusi mempunyai peranan penting untuk membuat peraturan-peraturan formal dalam bentuk undang-undang yang bersifat normatif dan memaksa—termasuk dalam hal ini kebijakan ekonomi dan sosial dari pemerintah.

Fokus kajian dari pendekatan institusionalisme mulai mengalami perubahan seiring dengan berjalannya waktu dan berbagai kritik yang muncul. Pendekatan ini tidak hanya fokus terhadap institusi sebagai sebuah organisasi tetapi juga fokus terhadap produk kebijakannya. Di samping itu, pendekatan ini juga mulai menjangkau ranah informal ketika banyak fakta yang membuktikan bahwa kebijakan yang diambil dalam suatu lembaga terkadang banyak menggunakan jalur-jalur di luar ranah formal sehingga muncul berbagai bentuk kebijakan yang tidak tepat sasaran.

Pendekatan kelembagaan juga bisa melihat realitas kemiskinan secara historis bagaimana proses kemunculan orang-orang miskin di Indonesia yang jumlahnya semakin bertambah dari waktu ke waktu. Selain itu, kelembagaan di sini tidak hanya terbatas pada institusi nasional (konteks ekonomi makro) tetapi juga bagaimana pengaruh berbagai institusi global yang secara tidak langsung ikut menyumbang bertambahnya angka kemiskinan, khususnya di negara-negara berkembang.

Dalam kajian-kajian pemerintahan yang bersifat institusionalisme atau kelembagaan, pemerintah dimaknai sebagai institusi atau lembaga sedangkan pemerintahan adalah kerja pemerintah. Inilah yang dimaknai sebagai konsep government. Dalam arti luas, government diartikan sebagai lembaga-lembaga yang bertanggung jawab membuat keputusan kolektif bagi masyarakat, sementara dalam arti sempit, government adalah pejabat politik paling tinggi dalam lembaga-lembaga itu, yaitu presiden, perdana menteri, dan menteri [1]. Pemahaman tentang pemerintah dalam konsep ini menempatkan pemerintah sebagai aktor dominan bahkan aktor utama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keputusan kolektif dalam masyarakat dibuat sendiri oleh seorang pimpinan, misalnya presiden atau kepala daerah, atau oleh satu kelompok (misalnya kabinet). Peranan masyarakat terbatas sebagai kelompok sasaran dalam pelaksanaan kebijakan, bahkan partisipasi masyarakat dimaknai secara sempit hanya sebagai formalitas dalam mendukung legitimasi kebijakan yang dibuat pemerintah.

Dari sinilah kemudian realitas kemiskinan bisa dimaknai sebagai sebuah produk kegagalan kelembagaan dan kebijakan pemerintah yang tidak disesuaikan dengan realitas yang terjadi dalam masyarakat. Pemerintah ketika menafsirkan dirinya sebagai government, akan sulit menafsirkan perannya dalam masyarakat sehingga kebijakan yang diambilnya pun tidak bisa menyentuh permasalahan yang timbul dalam masyarakat.

Akar permasalahan kemiskinan terletak pada struktur kebijakan dari pemerintah dan lembaga-lembaga di bawahnya yang mulai jauh dari tujuan mensejahterakan rakyat. Tulisan ini akan membahas faktor-faktor apa saja yang menyebabkan tingginya tingkat kemiskinan baik dilihat dari kebijakan pemerintah dalam negeri maupun kebijakan lembaga-lembaga donor luar negeri. Tulisan ini juga akan melihat peran lembaga-lembaga baik dalam skala global maupun nasional yang terkait dengan realitas kemiskinan. Di bagian akhir tulisan, akan disajikan kesimpulan dari kajian kelembagaan dan kebijakan dalam memahami kemiskinan sebagai sebuah bentuk kompleksitas realitas sosial ekonomi masyarakat yang sulit untuk dihilangkan.

Kemiskinan dalam Konteks Kelembagaan Global

Studi-studi tentang globalisasi dewasa ini menempatkan lembaga-lembaga ekonomi global sebagai salah satu penyebab tingginya angka kemiskinan, khususnya di negara-negara berkembang. Lembaga-lembaga internasional tersebut tidak banyak memberi pilihan kepada negara-negara berkembang. Bank Dunia, IMF dan WTO sesungguhnya jauh lebih banyak menciptakan kemiskinan daripada memberikan jalan keluar. Dua dari sekian banyak programnya tampaknya cukup menggambarkan bagaimana lembaga-lembaga internasional tersebut ikut menciptakan kemiskinan. Kebijakan yang itu juga dudukung pemerintah Indonesia karena peminjaman hutang mensyaratkan untuk mengikuti kebijakan yang ditentukan oleh lembaga-lembaga donor.

SAP (Structural Adjustment Program) merupakan salah satu kebijakan lembaga-lembaga internasional yang justru banyak menimbulkan masalah di negara-negara berkembang. Perdagangan bebas mensyaratkan semua negara menggunakan model perekonomia yang sama. Dengan demikian, ia menghhilangkan segala variasi yang bisa jadi memperlambat laju gerak operasi global dari perusahaan-perusahaan besar terpenting sewaktu mereka mencari sumber-sumber daya yang baru, pasar, dan tenaga kerja yang murah. Dalam konteks ini, peranan khusus WTO adalah merancang aturan-aturan global yang seragam untuk semua negara dan secara khusus menentang undang-undang nasional di bidang lingkungan hidup dan sosial yang dianggap menjadi penghalang bagi perdagangan bebas perusahaan besar.

Beberapa persyaratan SAP misalnya adalah penaghapusan kontrol harga—bahkan berkenaan dengan kebutuhan pokok seperti pangan dan air sekalipun—tetapi secara tidak adil mewajibkan pemberlakuan kontrol atas upah. Sudah dapat dipastikan, para pekerja yang upahnya sudah teramat kecil, menjadi semakin kecil kemampuannya untuk bisa bertahan hidup.[2]

Selain itu, kebijakan penyesuaian struktural juga mewajibkan adanya pengurangan secara drastis berbagai pelayanan sosial dan badan-badan yang menjalankannya seperti pelayanan kesehatan dan perawatan medis, pendidikan, bantuan pangan, bantuan usaha kecil, angkutan, sanitasi, air, pelatihan kerja, dan lain-lain. Kerapkali, berbagai pelayanan tersebut diprivatisasi sehingga bantuan yang sebelumnya diterima secara cuma-cuma oleh rakyat, kini memerlukan biaya yang ujung-ujungnya harus dibayarkan kepada korporasi-korporasi global. Akibatnya, begitu banyak yang tidak mampu membayarnya, sehingga secara otomatis mereka tersingkir dan terpelanting keluar dari sistem.[3]

Dari dua contoh prasyarat permohonan hutang tersebut, jelas bahwa dengan adanya kebijakan yang digeneralisan kepada seluruh negara berkembang oleh lembaga-lemabaga internasional justru mengurangi akses rakyat terhadap berbagai bentuk pelayanan sosial. Akibatnya, rakyat miskin akan semakin miskin ketika mereka tidak dapat menjangkau akses pelayanan publik dan sosial karena tingginya harga.

Sebuah film menarik berjudul ‘The New Rule of The World’ semakin memperjelas cerita bagaimana sebuah institusi global sangat berpihak kepada pasar dengan perusahaan-perusahaan besar sebagai agennya dan melupakan kesejahteraan rakyat. Kemiskinan timbul akibat adanya upah buruh yang sangat murah di negara berkembang. Sedangkan mereka dipaksa bekerja di luar batas waktu normal setiap harinya.[4] Dengan kata lain, penerapan kebijakan struktural hanya akan memindahkan kekayaan dari negara berkembang ke negara industri.

Selain program penyesuaian struktural, kebijakan lembaga-lembaga donor internasional juga meliputi kebijakan pertanian yang berorientasi ekspor. Kebijakan tersebut telah menggusur lahan pekerjaan para petani yang menanam tanaman pangan untuk konsumsi dalam negeri. Sangat ironis ketika Indonesia yang dikenal sebagai penghasil beras harus memberlakukan kebijakan impor beras dari negara lain unutk mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri. Kebijakan pertanian yang berorientasi ekspor mengharuskan para petani untuk menanam tanaman lain yang bisa diekspor seperti usaha agribisnis yang bisa diekspor dan mendatangkan keuntungan tinggi. Petani diharuskan menanam tanman seperti bunga, kapas dan kopi. Sedangkan keuntungan dari hasil ekspor tersebut justru tidak bisa dinikmati oleh petani. Kebijakan seperti inilah yang menjadi salah satu penyebab tingginya tingkat kemiskinan. Para petani di negara berkembang, khususnya Indonesia bisa dipastikan akan semakin miskin dan menurun tingkat kesejahteraannya.

Para petani yang telah kehilangan sumber penghasilan di desanya akan melakukan urbanisasi ke kota. Mereka harus berkompetisi untuk mencari lapangan kerja. Sebagian pekerjaann juga berada di pabrik-pabrik yang ternyata juga dijalankan oleh korporasi-korporasi global. Mereka yang tidak beruntung akhirnya hanya bisa tinggal pemukiman-pemukiman kumuh padat di pinggiran kota dalam kondisi miskin.

Di sinilah letak kesalahan kebijakan lembaga-lembaga ekonomi global yang justru menimbulkan kemiskinan. Lembaga seperti Bank Dunia dalam raison d’etre-nya, berusaha mengurangi kemiskinan yang itu menjadi satu paket dengan pelesterian lingkungan yang brekelanjutan. Namun setelah melewati dasawarsanya ynag keenam, kaum miskin di sebagian besar negara peminjam justru berada dalam kondisi yang jauh lebih buruk ketimbang lima belas tahun sebelumnya. Dengan kata lain, terdapat adanya ketidaksesuaian antara tujuan besar yang ingin dicapai dengan realitas yang terjadi.

Kemiskinan dan Permasalahan Kelembagaan Pangan

Kemiskinan tarkadang diidentikkan dengan timbulnya kelaparan yang menjadi salah satu permasalahan distribusi pangan yang tidak merata. Salah satu lembaga yang mengurusi masalah pangan di Indonesia adalah Bolog. Namun kebijakan di sektor pangan mengalami liberalisasi besar-besaran sejak reformasi 1998. Pasar pangan yang semula tertutup dan sebagian besar pengadaannya dimonopoli oleh Bulog, kini sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Ketidakmampuan bersaing dengan harga pangan murah di pasar dunia membuat pengambil kebijakan menmpuh jalur pendek yaitu melalui mekanisme impor.[5]

Atas deskan IMF, reformasi kelembagaan Bulog terus berlanjut dengan diubahnya status Bulog dari LPND (Lembaga Pemerintah Non-Departemen) menjadi Perusahaan Umum (Perum) Bulog. Setelah menjadi Perum, Bulog kemudian melegalkan aktivitas untuk meraih keuntungan. Sehingga, tidak jelas lagi lembaga mana yang berfungsi menyangga pangan nasional dan bertindak sebagai wakil pemerintah guna melaksanakan kebijakan melindungi petani dari fluktuasi harga tinggi. Tidak jelas lagi lembaga mana yang akan melindungi warga miskin. Apa yang terjadi di Indonesia saat ini adalah missing institusion sistem kelembagaan pangan nasional.[6]

Sesuai dengan pasal 46 UU No. 7 tahun 1996 tentang pangan, tugas-tugas sosial yang diemban oleh Perum Bulog adalah tugas pemerintah khususnya dalam pengelolaan cadangan pangan. Dengan adanya liberasi pangan tersebut, terjadi keterputusan kelembagaan yang membuat berbagai kebijakan yang dirakit pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi starategis yang melekat dalam sistem ketahanan pangan menjadi tidak berjalan.[7] Keterputusan inilah yang semakin memperburuk kondisi petani lokal dalam fungsinya sebagai salah satu elemen penyedia pangan. Kebijakan impor beras yang diambil pemerintah misalnya. Hal ini semakin memiskinkan kondisi petani ketika produksi pangan mereka tidak bisa bersaing dengan produk pangan yang diimpor pemerintah. Bisa juga dikatakan bahwa kebijakan pemerintah dalam mensejahterakan rakyat tidak sejalan dengan kebijakan politiknya. Dari sini, terlihat bahwa kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari permasalahan kelembagaan, khususnya dalam hal kelembagaan pangan.

Program dan Kebijakan Pengentasan Kemiskinan

Kemiskinan di Indonesia tidak begitu saja muncul pada masa sekarang. Sejak masa kolonial, banyak rakyat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan akibat kolonialisme dan imperialisme. Bahkan sampai sekarang, kolonialisme dan imperialisme telah menemukan wajah dan bentuknya yang baru dengan dibuatnya berbagai kebijakan pembangunan. Pemerintah tidak diam saja menanggapi hal ini. Banyak usaha yang telah dicobakan untuk melaksanakan program pengentasan kemiskinan. Sebagian besar berhasil untuk mengurangi tingkat kemiskinan namun sebagian program tidak bisa berjalan secara optimal.

Kemiskinan sudah menjadi masalah sosial yang sangat mendesak untuk diselesaikan. Kemiskinan di Indonesia semakin meningkat sejak adanya krisis yang mulai terjadi tahun 1998. Data yang dicatat BPS mencatat bahwa antara tahun 1976-1988, besarnya kemiskinan sebagaimana diukur oleh indikator timbulnya kemiskinan adalah 24,23% (49,5 juta). Di luar jumlah ini, sekitar 17,6 juta tinggal di wilayah perkotaan (21,92%) dan 31,9 juta (25,72%) tinggal di wilayah pedesaan. Pada tahun 1996 angka kemiskinan masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin.

Sedangkan data yang dilansir BPS tentang Indikator Perekonomian bulan November 2007 menyebutkan bahwa penduduk miskin Indonesia pada Maret 2007 tercatat sebanyak 37,17 juta jiwa. Jika dibanding dengan kondisi pada bulan Maret 2006 yang berjumlah 30,39 juta orang, berarti ada penurunan sebanyak 2,13 juta orang. Meskipun terjadi penurunan, angka-angka tersebut tetap mengindikasikan bahwa tingkat kemiskinan masih tinggi yang berarti pelaksanakan program-program pengentasan kemiskinan kurang memperlihatkan keberhasilannya.

Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam hal ini yang berkaitan dengan kemiskinan merupakan salah satu bentuk kebijakan sosial. Kebijakan sosial adalah suatu aspek dan objek kajian yang memiliki ruang lingkup luas dan global. Seperti yang terdapat dalam definisi tersebut, kebijakan sosial berfungsi untuk mencapai kesejahteraan bagi penduduk di suatu negara. Setiap negara memiliki mekanisme tersendiri dalam proses perumusan suatu kebijakan sosial. Sebagain besar negara menyerahkan tanggungjawab ini kepada setiap departemen pemerintahan, namun ada pula negara yang memiliki badan khusus yang menjadi sentral perumusan kebijakan sosial. Terdapat pula negara-negara yang melibatkan baik lembaga pemerintahan maupun swasta dalam merumuskan kebijakan sosialnya. Tidaklah mudah untuk membuat generalisasi lembaga mana yang paling berkompeten dalam masalah ini. (Suharto, 1997).[8]

Selain melihat kemiskinan dalam dimensi global, kemiskinan juga bisa dilihat dalam dimensi makro yaitu adanya kesenjangan antara daerah yang minus (desa) dan daerah yang surplus (kota) serta strategi pembangunan yang kurang tepat dengan tidak memperhatikan kondisi sosial-demografis masyarkat Indonesia. Di sinilah peran pemerintah sebagai sebuah lembaga yang terstruktur sangat terlihat. Kemiskinan secara struktur, bisa terjadi karena faktor internal dan faktor eksternal yang melatarbelakangi kemiskinan. Faktor internal berasal dari perilaku setiap individu sedangkan faktor eksternal itu biasanya disebabkan oleh lingkunya ekonomi dan politik seperti kinerja dari lembaga pemerintah diantaranya: pemerintah yang tidak adil, korupsi, paternalistik, birokrasi yang berbelit, dan sebagainya.

Secara kelembagaan, banyak sekali usaha pemerintah dalam hal pengentasan kemiskinan. Beberapa program yang telah dilakukan sedikit banyak telah berhasil mengurangi angka kemiskinan. Namun tidak sedikit pula program yang kurang berhasil diterapkan. Sebut saja program JPS (Jaring Pengaman Sosial) yang dilaksanakan sejak pertengahan 1998 ketika Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi. Program tersebut memiliki tujuan antara lain adalah untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat miskin dengan mencakup aktivitas dalam bidang keamanan pangan, pendidikan perlindungan sosial, kesehatan dan pekerjaan umum padat karya.[9] Dalam implementasinya, banyak kritik yang kemudian muncul menyangkut permasalahan transparansi lembaga penyalur dana bantuan. Program JPS kebanyakan tidak diterima oleh kelompok yang ditargetkan. Banyak LSM yang kemudian berargumen bahwa pemerintah menggunakan anggaran untuk maksud-maksud politis. Oleh karena itu merela juga mendesak pemerintah dan lembaga donor internasional untuk menghentikan program tersebut.

Program lain yang pernah diterapkan pemerintah dalam mengatasi kemiskinan adalah program BLT (Bantuan Langsung Tunai). Sejauh ini, banyak program pengentasan kemiskinan hanya menggunakan pendekatan instan. Secara sepintas, program BLT memang menjanjikan solusi praktis dan pragmatis dalam pengentasan kemiskinan. Tetapi, pendekatan yang digunakan dalam program BLT ternyata menimbulkan persoalan lain. Misalnya, persoalan ketergantungan penduduk miskin pada pemberi bantuan. Akibatnya penduduk miskin tidak memiliki keinginan sama sekali untuk memperbaiki taraf kehidupannya. Mereka merasa senang dengan kondisi yang dialami karena pasti ada pihak yang akan memberikan bantuan. Kesalahan bisa dikatakan berasal dari lembaga pemerintah yang selalu memberi ikan dan bukan memberi kail bagi masyarakat miskin sehingga menyebabkan masyarakat justru enggan beranjak dari keadaan ekonomi mereka yang miskin.

Kesimpulan

Beberapa bentuk lembaga dan kebijakana di atas cukup menjelaskan bahwa pendekatan kelembagaan menjadi penting ketika dihadapkan pada realitas kemiskinan yang salah satu sisinya dilatarbelakangi oleh permasalahan kelembagaan dan kebijakan pemerintah. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan lembaga pemerintah ternyata tidak mampu menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Permasalahan utamanya terletak pada struktur kelembagaan pemerintah yang ternyata tidak mampu menyentuh realitas kemiskinan yang sebenarnya. Keterputusan tersebut berawal dari kesalahan pemerintah ketika meletakkan kemiskinan atau orang miskin sebagai sebuah obyek dari kebijakan sehingga banyak kebijakan yang justru tidak bisa dilaksanakan secara maksimal. Pemerintah cenderung memberi bantuan secara instan kepada masyarakat miskin, oleh karena itu kebijakan tersebut justru tidak bisa menyelesaikan permasalahan yang ada.

Kebijakan dan kelembagaan pemerintah tidak bisa terlepas dari pengaruh lembaga-lembaga global yang secara tidak langsung ikut menciptakan kemiskinan di Indonesia. Program-program yang telah ditetapkan dan bersifat top down, mulai dari kelembagan internasional sampai pada pemerintah nasional inilah yang kemudian membuat realisasi kebijakan banyak yang tidak tepat sasaran dan tidak bisa mengetahui kebutuhan rakyat yang sebenarnya.

Pemerintah secara kelembagaan dan pembuatan kebijakannya seharusnya lebih melibatkan masyarakat secara partisipatif dan tidak hanya meletakkan permasalahan kemiskinan sebagai obyek. Pemerintah seharusnya lebih memahami persoalan kemiskinan sebagai sebuah kompleksitas proses sosial yang tidak hanya bisa diselesaikan melalui suatu bentuk kebijakan tanpa memahami spesifikasi dan lokalitas masyarakat Indonesia yang berbeda-beda. Startegi kebijakan dalam mengatasi kemiskinan tidak hanya bisa dilihat dari satu dimensi saja melainkan juga berusaha untuk melihat secara menyeluruh terhadap semua aspek yang bisa menyebabkan kemiskianan secara lokal.

Referensi:

Soehardono, Edy. 2001. Good Governance : Untuk Daulat Siapa ?. Yogyakarta : Forum LSM DIY bekerja sama dengan YAPPIKA.

Suharto, Edy. Materi Latihan : Analisis Kebijakan Sosial. Dalam http://www.policy.hu/suharto/makIndo21.html

Khudori. 2005. Lapar: Negeri Salah Urus. Yogyakarta: Resist Book

---------Kelembagaan Pangan Pasca-Bulog. Kompas, 24 Mei 2003.

International Forum on Globalization. 2003. Seri Kajian Globa: Globalisasi, Kemiskinan dan Ketimpangan. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas

Remi, Sutyastie Soemitro dan Prijono Tjiptoherijanto. 2002. Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta




[1] Mochtar Mas’oed. “Desentralisasi dan Good Governance”. Dalam Good Governance : Untuk Daulat Siapa ?. Edy Soehardono. Yogyakarta : Forum LSM DIY bekerja sama dengan YAPPIKA. 2001, hal. 19.

[2] Jerri Mander, et all. Globalisasi Membantu Kaum Miskin? Dalam Seri Kajian Global: Globalisasi, Kemiskinan dan Ketimpangan. (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. 2003) hal. 9

[3] ibid, hal 11

[4] Film berjudul The New Rule of The World tentang dampak globalisasi. Bahan mata kuliah metodologi Ilmu Politik. Tanggal 19 Desember 2007.

[5] Lihat, Khudori. Lapar: Negeri Salah Urus. (Yogyakarta: Resist Book. 2005). Hal 154.

[6] Lihat, Khudori. Kelembagaan Pangan Pasca-Bulog. Kompas, 24 Mei 2003.

[7] Khudori, Op.Cit. hal 158

[8] Edi Suharto, Materi Latihan : Analisis Kebijakan Sosial. http://www.policy.hu/suharto/makIndo21.html

[9] lihat Sutyastie Soemitro Remi. Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia. (Jakarta: Rineka Cipta. 2002). hal. 29-33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar